Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Perjalanan Kasus Pinangki: Divonis 4 Tahun Penjara 2021, Bebas Bersyarat 2022

7 September 2022   10:25 Diperbarui: 7 September 2022   13:41 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinangki Sirna Malasari terpidana suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra bebas bersyarat pada hari Selasa, 6 September 2022. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga via kompas.com

Ada yang masih ingat dengan kasus Pinangki? Atau justru lupa oleh hype kasus Ferdy Sambo? Inilah yang dikhawatirkan, kita terlalu sibuk mengawal kasus yang hype tapi lupa dengan kasus-kasus lama yang sebetulnya perlu pengawalan serupa.

Kasus Sambo memang tidak dipungkiri karena mampu menyedot perhatian publik. Hal itu wajar karena melibatkan sejumlah institusi di dalamnya. Mulai dari sipil, kekuasaan, hingga institusi Polri.

Jadi tidak heran jika kasus Ferdy Sambo mendapat porsi lebih di beberapa media. Bahkan media TV ramai-ramai menayangkan kasus Sambo sampai mengesampingkan acara olah raga.

Publik juga mungkin ada yang tidak tahu jika pada kasus lain Indonesia tengah menghadapi kasus korupsi terbesar di Indonesia, yakni kasus Surya Darmadi yang mengkorupsi uang senilai Rp. 78 triliun.

Padahal kasus korupsi sangat dibenci oleh netizen. Bahkan, tidak sedikit netizen yang berkomentar agar para koruptor dihukum mati. Tapi, bukan hukuman mati yang didapat, malah bebas bersyarat.

Warga binaan kasus korupsi seperti Ratu Atut, Zumi Zola, dan Jaksa Pinangki justru kompak bebas bersyarat pada Selasa 6, September 2022. Tentu ini menjadi tanda tanya besar mengapa diskon hukuman terus terjadi.

Nah, dalam artikel ini penulis akan khusus membahas Pinangki. Mengapa demikian? Pinangki adalah penegak hukum, sepatutnya hukuman yang diberikan lebih berat karena dia adalah penegak keadilan.

Perjalanan kasus Pinangki

Sebelum bebas bersyarat, alangkah lebih baiknya kita mengingat kembali perjalanan kasus Pinangki. Nama Pinangki menjadi buah bibir usai terseret dalam kasus korupsi Djoko Tjandra.

Buronnya Djoko Tjandra diduga tidak lepas dari peran Pinangki terkait fatwa Mahkamah Agung.

Pinangki menerima suap sebesar US$500 ribu (Rp7,35 miliar) dari terpidana kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra.  Pinangki juga terlibat kasus lain yakni pencucian uang.

Dari Rp. 7.53 miliar yang diterima, sebanyak Rp. 5.2 miliar dicuci dan beralir bentuk untuk menghilangkan jejak.

Hal itu bisa dilihat dari gaya hidup mewah Pinangki yang dirasa janggal. Tentu modal dari gaya hidup mewah tersebut hasil dari suap yang diterima Pinangki.

Pencucian uang yang dilakukan Pinangki adalah membeli satu unit mobil BMW X5 senilai Rp1,753 miliar, sewa Apartemen Trump International Hotel di Amerika Serikat sebesar Rp72 juta, dan pembayaran dokter kecantikan di AS sebesar Rp139,943 juta.

Selain tindakan tersebut, pencucian uang yang dilakukan Pinangki lainnya adalah pembayaran dokter home care terkait perawatan kecantikan dan covid-19 hingga pembayaran kartu kredit sehingga jumlah uang yang dicuci Pinangki mencapai Rp. 5.2 miliar.

Pinangki akhirnya diadili. Jaksa kemudian menuntut Pinangki 4 tahun penjara. Pinangki terbukti menerima suap, melakukan pencucian uang, dan melakukan pemufakatan jahat.

Hakim kemudian menjatuhkan vonis 10 tahun penjara pada Pinangki. Vonis ini tentu jauh lebih berat dari tuntutan jaksa. Tapi, Pinangki merasa keberatan dengan vonis tersebut dan kemudian mengajukan banding.

Setelah banding, bukannya hakim memperkuat putusan pada tingkat pertama, Pinangki justru mendapat diskon hukuman sehingga ia hanya divonis empat tahun penjara.

"Bahwa Terdakwa adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya. Bahwa Terdakwa sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil," (detik.com)

Alasan hakim memberi diskon hukuman pada Pinangki adalah Pinangki seorang ibu yang masih memiliki balita. Hakim juga beralasan Pinangki harus mendapat perlindungan dan diperlakukan secara adil.

Melihat putusan tersebut, saya jadi ingat sosok hakim agung Artidjo Alkostar. Beliau adalah sosok hakim yang tegas dan tidak segan menambah hukuman bagi koruptor yang mengajukan banding. 

Kini sosok itu tidak ada. Seharusnya, apa yang ditinggalkan beliau menjadi contoh bagi hakim lainnya. Di sisi lain, JPU saat itu juga legowo karena tidak memberikan perlawanan pada vonis ini.

Seharusnya, JPU melakukan upaya hukum lain yakni PK. Namun, JPU enggan melakukan itu. Entah apa mereka menerima putusan tersebut tanpa adanya perlawanan sedikit pun. Kejaksaan akhirnya mengeksekusi Pinangki ke lapas pada tanggal 2 Agustus 2021.

Bebas bersyarat

Setelah mendapat diskon sebesar 60 persen hukuman dari hakim, kini Pinangki kembali mendapat diskon masa tahanan dengan mendapat bebas bersyarat.

Itu artinya Pinangki hanya dipenjara satu tahun lebih. Kepastian itu didapat Pinangki karena dinilai telah memenuhi syarat administrasi dan "berkelakuan baik". 

Tentu alasan tersebut terdengar klise, mengingat semua narapidana pasti akan berkelakuan baik. Jika korupsi adalah kejahatan luar biasa, maka dari sisi hukuman harus berbeda begitu juga dengan pemberian bebas bersyarat harus lebih berat dari tindak pidana lain.

Di sisi lain, tentu satu ironi dalam satu hari ada 10 napi korupsi yang bebas termasuk Pinangki. Hal itu tidak lepas dari minimnya kewenangan KPK untuk memberi rekomendasi pada napi koruptor.

Artinya, dalam hal ini KPK harus dilibatkan dan menilai apakah seorang napi koruptor layak diberi remisi, asimilasi, atau bebas bersyarat.

Tentu dengan beberapa diskon hukuman yang didapat Pinangki plus masa tahanan yang hanya sebentar sangat mencederai keadilan. 

Dari sini, saya jadi ingat satu anekdot yang cukup populer. Sebetulnya orang yang belajar hukum tidak lain untuk mengakali aturan bukan untuk menegakkan aturan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun