Kasus Brigadir J akhirnya memasuki babak baru. Setelah dua tersangka ditetapkan yakni Bharada E dan Brigadir RR, Kapolri Jenderal Listyo Sigit membuka sosok aktor intelektual kasus kematian Brigadir J, yakni Irjen Pol Ferdy Sambo.
Selain Ferdy Sambo, KM satu-satunya sipil yang terlibat dalam kasus ini juga menjadi tersangka. Selain itu, tersangka baru masih akan terus muncul karena penyidik masih menyematkan Pasal 55 dan 56 KUHP.
Ferdy Sambo sendiri dijerat dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 jo Pasal 55 dan Pasal 56 terkait pembunuhan berencana. Ancaman pembunuhan berencana amat berat.
Pembunuhan berencana merupakan kasta tertinggi dalam kasus hilangnya nyawa manusia. Ferdy Sambo terancam hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama-lamanya 20 tahun.
Selain pembunuhan berencana, Ferdy Sambo juga terancam pidana lain yakni menghalang-halangi prsoes persidangan. Hal itu tercantum dalam Pasal 221 dan 233 KUHP.
Ancaman pasal tersebut bukan isapan jempol belaka. Penulis berasumsi dengan sidang kode etik profesi yang dijalani Ferdy Sambo.
Dalam sidang kode etik itu, Ferdy Sambo diduga tidak profesional dalam olah TKP. Selain itu, hilangnya alat bukti CCTV yang berada di rumah dinasnya adalah indikator penting.
Tentunya kode etik itu semakin mengarah pada ranah pidana. Maka, selain Pasal 340 dan 338 KUHP, Ferdy Sambo juga bisa dijerat dengan Pasal 221 dan Pasal 233 KUHP.
Selain hukuman pidana, Ferdy Sambo juga terancam hukuman administrasi yakni dipecat dari instansi Kepolisian RI.
Terungkapnya sutradara sekaligus aktor intelektual tidak terlepas dari peran Bharada E. Bharada E akhirnya bernyanyi dengan merdu dan memberi tahu kejadian yang sebenarnya.
Bharada E mengungkap jika ia diperintah atasan (Ferdy Sambo) untuk menembak Brigadir J. Selain itu, berita yang simpang siur terkait Ferdy Sambo yang berada di TKP terjawab sudah.
Ferdy Sambo memang berada di TKP, dalam konferensi persnya, Kapolri menyebut Ferdy Sambo memakai senjata Brigadir J dan menembakan ke dinding.
Hal itu dilakukan untuk menciptakan suasana tembak menembak. Jadi, Ferdy Sambo selain sutradara yang merangkai cerita palsu, ia juga bermain peran di dalamnya.
Fakta peristiwa tembak menembak jelas tidak ada. Keberanian Bharada E yang menceritakan kejadian ini secara runut patut kita apresiasi.
Selain itu, pilihan untuk mengajukan diri sebagai justice collaborator amat tepat. LPSK harus melindungi Bharada E dan keluarganya dari segala jenis ancaman yang mungkin saja terjadi.
Selain perlindungan dari LPSK, Bharada E sebetulnya memiliki peluang untuk bebas dari kasus ini jika ia bisa membuktikan bahwa perintah dari atasan itu memang ada.
Itulah celah hukum yang bisa dipakai oleh tim kuasa hukum Bharada E. Lantas, apa dasar hukumnya? Hal itu bisa kita lihat pada Pasal 51 ayat 1 KUHP yang berbunyi:
Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana
Dalam pasal di atas, antara pemberi perintah dan pelaksana perintah harus ada hubungan dalam rangka jabatan. Hubungan ini didasarkan menurut hukum publik.
Singkatnya, yang memberi perintah kedudukannya lebih tinggi dari kedudukan pelaksana perintah tersebut. Dalam hal ini, jelas Ferdy Sambo dan Bharada E memiliki hubungan jabatan yakni atasan dan ajudan.
Aturan itu didasarkan pada UU Kepolisian beserta aturan turunannya. Dengan adanya pasal ini, maka sifat melawan hukum hilang karena ada alasan pembenar.
Lebih jauh lagi, Bharada E jelas tidak bisa menolak perintah atasannya (Ferdy Sambo) karena Polri menganut sistem komando. Jadi, berat rasanya jika harus menolak perintah atasannya itu.
Namun, di sini yang masih bisa menjadi perdebatan adalah perintah (menembak Brigadir J) termasuk dalam lingkup kewenangan jabatannya atau bukan.
Namun celah itu masih ada, setidaknya Bharada E bisa dikenakan Pasal 51 ayat 1 jika ia dan tim kuasa hukumnya bisa membuktikan itu di pengadilan. Jika terbukti, maka hakim akan memberi putusan lepas dari tuntutan.
Mengapa putusan lepas dari tuntutan bukan putusan bebas? Putusan bebas dan lepas dari tuntutan jelas dua hal berbeda.Â
Dalam Pasal 191 ayat 1 KUHAP, putusan bebas terjadi apabila kesalahan yang didakwakan pada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
Putusan bebas bisa terjadi jika jaksa tidak bisa membuktikan kesalahan karena kurangnya dua alat bukti yang sah. Putusan bebas adalah antitesis dari putusan pemidanaan.
Sementara Pasal 191 2 KUHAP menyebut putusan lepas dari tuntutan adalah jika hakim menilai perbuatan yang didakwakan pada terdakwa terbukti, tapi perbuatan itu tidak merupakan tindak pidana.
Tindakan Bharada E yakni menembak Brigadir J terbukti secara sah dan meyakinkan, akan tetapi perbuatan itu bukan tindak pidana karena ada alasan pembenar yakni Pasal 51 ayat 1 alias ada perintah jabatan.
Jadi, meskipun melawan hukum, karena ada perintah jabatan maka perbuatan (menembak Brigadir J) tidak termasuk pidana karena ada alasan pembenar yakni Pasal 51 ayat 1.
Jadi, itulah celah hukum yang mungkin bisa membuat Bharada E lepas dari tuntutan. Jika tidak begitu, majelis hakim bisa memberikan keringanan karena Bharada E menjadi justice collaborator.
Tidak ada yang tahu apakah menembak Brigadir J sesuai dengan isi hatinya alias kehendaknya sendiri. Tentu bisa jadi saling bertolak belakang.
Jika ditarik ke ranah ini, tentu Bharada E tidak ada niatan membunuh Brigadir J. Yang mana niat adalah salah satu unsur penting dalam hukum pidana.
Menembak Brigadir J terjadi karena perintah atasannya bukan atas kehendak diri sendiri. Jadi, bisa dibayangkan bukan beban yang ditanggung Bharada E.Â
Apalagi jika skenario awal terjadi, maka ia akan menjadi pelaku tunggal. Sekali lagi, kita harus apresiasi keberanian Bharada E.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H