Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Food Gender, Ketika Makanan Memiliki Jenis Kelamin

13 Juli 2022   08:26 Diperbarui: 15 Juli 2022   02:26 1497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salad identik dengan makanan perempuan sementara daging identik dengan makanan lelaki. | Sumber: Shutterstock via kompas.com

Belum lama ini, rendang babi kembali viral. Bahkan, sang pemilik kedai yakni Sergio tidak tahu jika usahanya viral padahal sudah tutup dua tahun lalu.

Babiambo, begitulah nama restonya dinilai melecehkan masyarakat Minang. Pasalnya, makanan padang identik dengan halal.

Hal itu karena makanan padang kaya akan filosifis dalam pembuatannya. Meski saya mengira "merendang" adalah salah satu teknik memasak layaknya menumis, menggoreng dan sebagainya.

Dari kasus itu kemudian muncul anggapan jika makanan kini telah memiliki identitas "agama." Nah, di luar itu ternyata jika kita teliti lebih jauh, makanan pun memiliki identitas gender. 

Di antara teman-teman tongkrongan, saya satu-satunya orang yang tidak merokok dan ngopi. Teman-teman saya kerap menggoda jika rokok dan kopi adalah perpaduan sempurna dalam hidup.

Meski saya pernah mencoba, tapi saya tidak bisa menemukan kenikmatan di balik asap rokok dan kandungan kafein dalam kopi.

Akhirnya, ketika ngumpul teman-teman selalu berkata ngarokok atuh kawas lain lalaki, maenya eleh ku awewe (ngerokok dong kaya bukan lelaki, masa kalah sama perempuan).

Begitu juga ketika ngopi, saya memang tidak bisa menikmati kopi. Antara minum kopi dan minum susu hangat tidak ada bedanya. Tidak sampai lima menit kopi sudah hilang dari gelas.

Sama halnya dengan rokok, cara saya minum kopi pun menjadi perbincangan. Hal itu karena tak seperti pria umumnya yang lebih bisa menikmati kafein di dalamnya.

Begitu juga dengan makanan, coba Anda pergi ke luar rumah kemudian cari tukang seblak, bakso aci, atau bakso apa pun. Entah itu pinggir jalan atau kafe.

Lihatlah siapa yang paling banyak memesan makanan itu, apakah laki-laki atau perempuan? Kebanyakan penikmat makanan itu kaum hawa. Maka seblak dan bakso sangat identik dengan perempuan.

Jika ada laki-laki makan seblak, pasti akan ada celotehan "kaya perempuan aja suka makan seblak." 

Dari hal itu, saya berpikir jika identitas gender tidak hanya di ranah sosial, tapi sudah masuk ke ranah makanan. Kopi untuk lelaki, seblak untuk perempuan. Kini, makanan pun memiliki identitas gender. Mengapa bisa begitu?

Sudah lama terjadi

Setelah ditelisik lebih jauh, ternyata identitas gender pada makanan sudah ada sejak lama. Tepatnya di Amerika Serikat pada tahun 1870 ketika wanita mulai masuk ke dunia kerja.

Hal ini diungkapkan oleh Paul Freedman dalam tulisan yang berjudul Steak for the Gentlemen Salad for the Lady: How Foods Came to be Gendered. 

Pada abad ke-19 tips diet, iklan perusahaan, hingga majalah memisahkan selera makanan wanita dan pria. Di dalam artikel itu, Freedman menyebut jika perempuan identik dengan salad dan yoghurt. Sementara lelaki identik dengan daging.

Salad dengan saus ringan, daging putih dan makanan sehat lainnya diidentikan dengan perempuan. Tampilan salad juga dinilai feminim. Sementara makanan berat seperti daging diidentikan dengan laki-laki dengan tampilan lebih maskulin.

Ada alasan tersendiri mengapa salad identik dengan perempuan. Hal itu karena salad sangat cocok untuk menjaga berat badan seseorang alias diet. Jadi ada semacam "tuntutan" bagi perempuan untuk menjaga berat bedan. 

Sementara laki-laki tidak ada tuntutan semacam itu. Selain itu, makanan ringan tidak cocok dengan laki-laki dan kurang maskulin. Laki-laki dianggap lebih cocok dengan makanan yang memiliki kalori tinggi.

Lelaki identik dengan makanan berkalori tinggi seperti daging. | Sumber: suara.com
Lelaki identik dengan makanan berkalori tinggi seperti daging. | Sumber: suara.com

Lebih jauh dari itu, daging identik dengan laki-laki mungkin bisa kita telusuri ke masa lalu. Di mana kaum pria memiliki tugas berburu. Jatah daging tentu menjadi lebih banyak untuk menjaga kebugaran.

Selain itu, dalam buku yang berjudul The Sexual Politics of Meat yang ditulis Carol J. Adams mengatakan, pada dongeng kerajaan zaman dulu, raja-raja identik dengan makanan daging.

Sementara ratu memakan roti dan madu. Meski ada wanita yang memakan daging, tapi diidentikan sebagai wanita yang tidak baik. Misalnya seorang penyihir jahat.

Jika kita melihat lagi, kalau memang laki-laki identik dengan daging lantas mengapa bakso identik dengan makanan wanita? Padahal isian bakso daging.

Tapi saat ini, jika ada lelaki yang makan bakso dianggap "aneh" karena bakso identik dengan makanan perempuan.

Marketing

Ternyata jika kita teliti lebih jauh, stereotip gender pada makanan memang tidak terlepas dari strategi pemasaran. Ada beberapa makanan atau minuman yang memang hanya ingin menyasar gender tertentu.

Misalnya susu yang bisa mendukung otot bagi laki-laki. Atau jamu tertentu yang bisa mengurangi nyeri pada wanita saat datang bulan.

Stereotip gender pada makanan tercipta dari strategi pemasaran. Disadari atau tidak, cara tersebut sedikitnya berpengaruh terhadap cara pandang kita terhadap makanan. Dengan kata lain, otak kita telah ditipu oleh teknik pemasaran tersebut.

Dikutip dari Social Psychology, stereotip gender pada kemasan makanan bahkan mengubah cara pandang kita soal rasa makanan itu sendiri. Seiring berjalannya waktu, hal ini menjadi lumrah.

Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Universitas Manitoba, Kanada, membuka fakta tersebut. Penelitian tersebut mengundang 93 partisipan orang dewasa.

Para peneliti meminta para partisipan untuk memakan makanan maskulin dan feminim. Dari hasil penelitian itu, para partisipan menilai bahwa makanan sehat lebih cocok untuk perempuan. Sementara makanan berkalori tinggi cocok untuk laki-laki.

Peneliti juga melakukan uji coba lain terkait kemasan muffin. Ada tiga jenis kemasan tersebut, yakni feminim, netral, dan maskulin. 

Hasilnya menurut para partisipan muffin dengan kemasan netral rasanya kurang enak. Padahal cara pembuatan muffin itu tidak berbeda. Yang membedakan hanya kemasan saja.

Dari penelitian itu dapat disimpulkan jika makanan tidak memiliki jenis kelamin. Stereotip gender makanan jelas dipengaruhi beberapa faktor seperti pemasaran hingga psikososial.

Jadi, terserah Anda mau makan apa. Entah itu seblak, bakso, ngopi, ngeteh, apa pun itu kembali lagi pada selera masing-masing. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun