Lihatlah siapa yang paling banyak memesan makanan itu, apakah laki-laki atau perempuan? Kebanyakan penikmat makanan itu kaum hawa. Maka seblak dan bakso sangat identik dengan perempuan.
Jika ada laki-laki makan seblak, pasti akan ada celotehan "kaya perempuan aja suka makan seblak."Â
Dari hal itu, saya berpikir jika identitas gender tidak hanya di ranah sosial, tapi sudah masuk ke ranah makanan. Kopi untuk lelaki, seblak untuk perempuan. Kini, makanan pun memiliki identitas gender. Mengapa bisa begitu?
Sudah lama terjadi
Setelah ditelisik lebih jauh, ternyata identitas gender pada makanan sudah ada sejak lama. Tepatnya di Amerika Serikat pada tahun 1870 ketika wanita mulai masuk ke dunia kerja.
Hal ini diungkapkan oleh Paul Freedman dalam tulisan yang berjudul Steak for the Gentlemen Salad for the Lady: How Foods Came to be Gendered.Â
Pada abad ke-19 tips diet, iklan perusahaan, hingga majalah memisahkan selera makanan wanita dan pria. Di dalam artikel itu, Freedman menyebut jika perempuan identik dengan salad dan yoghurt. Sementara lelaki identik dengan daging.
Salad dengan saus ringan, daging putih dan makanan sehat lainnya diidentikan dengan perempuan. Tampilan salad juga dinilai feminim. Sementara makanan berat seperti daging diidentikan dengan laki-laki dengan tampilan lebih maskulin.
Ada alasan tersendiri mengapa salad identik dengan perempuan. Hal itu karena salad sangat cocok untuk menjaga berat badan seseorang alias diet. Jadi ada semacam "tuntutan" bagi perempuan untuk menjaga berat bedan.Â
Sementara laki-laki tidak ada tuntutan semacam itu. Selain itu, makanan ringan tidak cocok dengan laki-laki dan kurang maskulin. Laki-laki dianggap lebih cocok dengan makanan yang memiliki kalori tinggi.
Lebih jauh dari itu, daging identik dengan laki-laki mungkin bisa kita telusuri ke masa lalu. Di mana kaum pria memiliki tugas berburu. Jatah daging tentu menjadi lebih banyak untuk menjaga kebugaran.