Tanggal 26 Juni 2022 lalu yang diperingati sebagai Hari Anti Narkotika Internasional dirayakan dengan cara berbeda oleh seorang ibu bernama Santi Warastuti.
Pada acara Car Free Day (CFD) yang berlangsung di Bundaran HI Jakarta, Santi membawa poster yang bertuliskan "tolong, anak saya butuh ganja medis."
Foto Santi sempat viral di twitter beberapa hari lalu. Santi tidak sendiri, ia ditemani oleh suami dan anaknya yang bernama Pika yang tergolek di stoller.
Rupanya Pika mengidap penyakit cerebral palsy, yakni penyakit yang memengaruhi kemampuan otot, gerakan, hingga koordinasi tubuh seseorang.
Santi yang datang dari Yogyakarta ke Jakarta mempunyai tujuan. Ia meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk segera memutus gugatan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Oleh karenanya, Santi berharap agar MK dapat mengabulkan gugatan tersebut dan melegalkan narkotika golongan I untuk kepentintan medis. Sehingga buah hatinya bisa diobati.
Segala upaya telah dilakukan Santi agar anaknya bisa sembuh. Namun tidak ada perkembangan sama sekali. Sampai akhirnya ia menggugat UU Narkotika karena hak konstitusionalnya dirugikan.
Tidak hanya Santi, seorang PNS bernama Fidelis Ari Sudarwoto menanam ganja untuk keperluan obat sang isteri yang mengidap syringomyelia sebuah penyakit sumsum tulang belakang.
Namun, setelah 32 hari Fidelis ditahan karena kasus penanaman ganja tersebut, sang isteri menghembuskan nafas terakhir.
Di sisi lain, majelis hakim Pengadilan Negeri Sanggau menjatuhkan vonis 8 bulan penjara pada Fidelis karena telah melanggar Pasal 116 ayat 1 UU Narkotika.
Santi dan Fidelis adalah dua warga negara yang harus terenggut hak konstitusionalnya karena UU Narkotika. Di beberapa negara, memang narkotika atau ganja sudah dipakai untuk keperluan medis.
Namun, di Indonesia sendiri penggunaan ganja untuk kepentingan medis masih menemui jalan buntu. Utamanya dari sisi regulasi yang melarang penggunaan ganja untuk kesehatan.
Momentum revisi UU Narkotika
Sejauh ini, penggunaan ganja untuk kepentingan medis masih belum diatur. Di dalam Undang-Undang Kesehatan tidak diatur mengenai hal ini.
Apalagi dalam Undang-Undang Narkotika penggunaan narkotika golongan I dilarang untuk kepentingan medis. Hal itu diatur dalam Pasal 8 ayat 1 UU Narkotika yang berbunyi:
Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
Larangan itu kemudian dipertegas dalam penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf a yang menyatakan narkotika golongan I hanya digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.Â
Narkotika golongan I tidak diperkenankan untuk kepentingan medis atau terapi. Hal itu karena dapat mengakibatkan ketergantungan.
Penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf a dan Pasal 8 ayat 1 inilah yang kemudian digugat ke MK oleh Santi. Menurut Santi, keberadaan pasal tersebut merugikan buah hatinya karena tidak bisa diobati.
Gugatan Santi sudah diajukan sejak tahun 2020 lalu. Namun, hingga saat ini masih belum ada putusan dari MK. Juru bicara MK yakni Fajar Laksana menyatakan gugatan UU Narkotika sidang berjalan cukup lama karena banyaknya saksi ahli yang dihadirkan.
Kasus di atas sejatinya menjadi momentum bagi DPR untuk merevisi UU Narkotika. Pengunaan ganja medis hanya salah satu pasal yang perlu direvisi.
Di luar itu, ada beberapa pasal dalam UU Narkotika yang perlu direvisi karena ambigu. Sehingga dalam praktiknya tidak selaras dan bisa merugikan orang lain.
Misalnya Pasal 112, di dalam pasal tersebut tidak dijelaskan secara tegas antara pengguna narkotika dengan pengedar. Pasal 112 ayat 1 berbunyi:
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800 juta dan paling banyak Rp 8 miliar.
Di dalam pasal tersebut tidak dijelaskan antara pengguna dan pengedar sehingga pasal tersebut ambigu. Unsur-unsur " menyimpan, memiliki, dan menguasai" secara otomatis dimiliki pengedar dan pengguna
Hal inilah yang membuat para pengguna justru tidak dapat mendapatkan haknya yaitu rehabilitasi sesuai Pasal 54. Dalam praktiknya, kepolisian kerap memakai Pasal 112 kepada pengguna.
Akibatnya lapas akan penuh alias over kapasitas. Seharusnya ada unsur yang jelas untuk membedakan antara penjual dan pengguna.
Tentu unsur tersebut dari sisi ekonomi. Seorang pengedar yang memiliki, menguasai, dan menyimpan tentu mendapat keuntungan ekonomi dari barang haram tersebut.
Akan tetapi meski memiliki, menyimpan, dan menguasai, bagi pengguna tidak ada keuntungan ekonomi di dalamnya hal itu karena barang tersebut hanya dipakai untuk diri sendiri.
Seharusnya apa yang menimpa ibu Santi menjadi momen bagi DPR untuk segera merevisi UU Narkotika. Hal itu karena jika melalui gugatan MK terbukti lama.
Selain itu, legalisasi ganja medis juga bisa menjadi momen untuk merevisi pasal ambigu dalam UU Narkotika. Keberadaan UU Narkotika juga bisa lebih tepat sasaran.
Khususnya dalam penerapan pasal ambigu pada pengguna bisa dihindari. Di luar itu, legalisasi ganja untuk medis harus diatur dengan tegas agar apa yang menimpa anak Santi dan Fidelis tidak terulang.
Dalam teori hukum progresif, sejatinya undang-undang dibuat untuk kepentingan masyarakat. Jika dalam praktiknya undang-undang tidak bisa mengakomodir rasa keadilan, maka undang-undang tersebut harus diubah.
Bukan masyarakat yang harus tunduk dan patuh pada undang-undang tersebut. Hal itu karena undang-undang dibuat untuk masyarakat. Artinya hukum (undang-undang) itu untuk manusia, bukan sebaliknya.Â
Petimbangan
Beberapa negara telah menggunakan ganja untuk kepentingan medis, bahkan Thailand sesama negara ASEAN sudah lebih dulu memakai ganja untuk kepentingan medis.
Ganja memiliki kandungan 600 lebih zat kimia antara lain tetrahydrocannabinol (THC) dan phytocannabinoid cannabidiol (CBD).
THC memiliki kandungan psikotoprika yang bisa membuat seseorang "terbang." Produk obat yang mengandung THC bisa meredakan kejang-kejang dan pusing.
CBD sendiri memiliki sifat anti-inflamasi, anti-epilepsi, anti-psikotik, dan meredakan kegelisahan. Umumnya produk yang mengandung CBD tinggi kandungan THC rendah, sehingga tidak membuat seseorang terbang.
Meski secara medis diperbolehkan, tetapi perlu pertimbangan matang. Utamanya sosialisasi pada masyarakat. Ganja medis tidak sama dengan ganja rekreasi. Sehingga masih rawan penyalahgunaan.
Jadi, jika nantinya legalisasi ganja ini disahkan harus ada pengawasan yang ketat. Sehingga tidak terjadi penyalahgunaan ganja medis. Tidak semua orang bisa mengakses ganja ini, tentu harus orang dengan penyakit tertentu dan ijin dari pihak berwenang.
Selain regulasi, sosialisasi, pengawasan, dan kesadaran tinggi dari masyarakat berpengaruh dalam upaya legalisasi ganja medis. Jika semua elemen itu terpenuhi, bukan tidak mungkin legalisasi ganja medis terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H