Promosi yang dilakukan Holywings terkait minuman beralkohol masih hangat dibicarakan. Pasalnya cara promosi minol tersebut begitu sensitif.
Sebelumnya, Holywings memberikan promosi gratis berupa minuman beralkohol pada pengunjung yang bernama Muhammad dan Maria.
Unggahan itu bahkan diposting di media sosial instagram resmi Holywings. Namun setelah promosi tersebut viral, postingan tersebut kemudian dihapus.
Adapun motif promosi tersebut tidak lain untuk mendongkrak penjualan di outlet yang sepi.Â
Namun, postingan tersebut bernuansa menistakan agama karena menggunakan nama Muhammad dan Maria. Kepolisian akhirnya menetapkan enam karyawan sebagai tersangka.Â
Mereka adalah EJD (27) selaku direktur kreatif, NDP (36) selaku head tim promotion, DAD (27) selaku desain grafis, EA (22) selaku admin tim promo, AAB (25) selalu social media officer, dan AAM (25) sebagai admin tim promo.
Keenam tersangka tersebut dijerat dengan Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 156 atau Pasal 156a KUHP.
Keenam tersangka juga dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Hanya saja yang menjadi sorotan dalam kasus ini adalah pihak manajemen sendiri disebut cuci tangan. Bahkan dalam unggahan instagram Holywings, keenam tersangka disebut oknum.
Pihak Holywings juga menyebut jika kasus ini bisa diselesaikan sesuai prosedur hukum. Hal itu dilakukan demi keberlangsungan 3000 karyawannya.
Tentu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan manajemen sendiri? Apakah kasus ini murni kesalahan karyawan semata? Atau ada andil dari pihak atasan?
Jika ide konten ini muncul dari karyawan, untuk bisa dipublish ke publik maka harus melewati seleksi yang cukup ketat. Salah satunya persetujuan dari pihak atasan atau manajemen.
Manajemen seharusnya tahu jika konten tersebut sensitif, maka konten tersebut harus ditolak. Artinya, suatu konten yang dipublish ada izin terlebih dahulu pihak atasan.
Lalu, bagaimana jika atasan yang memiliki konsep promosi tersebut? Apakah karyawan harus turut dan patuh meski perintah atasan tersebut ada indikasi pelanggaran hukum? Jelas tidak.
Karyawan memiliki hak untuk menolak itu. Bahkan terkait itu sudah diatur jelas dalam undang-undang.
Dasar hukum
Saya sendiri memiliki pengalaman bekerja di industri kreatif. Dalam menawarkan ide, ide tersebut bisa datang dari karyawan mau pun atasan.
Jika ide tersebut datang dari karyawan, tentu harus mendapat persetujuan dari atasan untuk bisa dieksekusi.
Akan tetapi, jika ide datang dari atasan atau permintaan atasan, maka kita tetap mengeksekusi ide tersebut. Meski begitu, karyawan berhak menolak jika perintah atasan memiliki indikasi pelanggaran hukum.
Hal itu sudah diatur dalam Pasal 154A huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Di dalam pasal tersebut, karyawan dapat mengajukan PHK pada perusahaan jika Perusahaan membujuk/menyuruh perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang.
Perusahaan juga wajib memberi pesangon pada karyawan yang mengajukan PHK dengan alasan sebagaimana diatur dalam pasal di atas. Terkait pesangon, tentu besarannya tergantung dengan lamanya bekerja.
Lalu, bagaimana jika atasan tetap membujuk untuk melakukan perbuatan yang melanggar aturan bahkan disertai dengan ancaman (dipecat)?
Meski hanya asumsi, tapi tidak ada salahnya jika kondisi ini dibahas. Tentu kita akan belajar sedikit ilmu hukum dalam artikel ini.
Di dalam kasus ini orang yang disuruh (dipaksa) melakukan tidak bisa dipidana. Dalam hal ini jika orang yang disuruh tersebut murni karena tidak tahu, kekeliruan (dweling), atau paksaan maka tidak ada "unsur kesalahan" atau unsur kesalahan itu ditiadakan.
Hal itu sudah dengan gamblang diatur dalam Pasal 48 KUHP yang berbunyi sebagai berikut.Â
Orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana.
Daya paksa sendiri bisa ditafsirkan pengaruh paksaan batin, lahir, mapun jasamani. Daya paksa yang tidak dapat dilawan ialah kekuasaan yang umumnya tidak bisa ditentang. Terkait hal itu, kekuasaan ini dibedakan menjadi tiga.
Pertama, kekuasaan absolute. Kekuasaan absolute di sini seseorang tidak dapat berbuat apapun. Tidak ada pilihan lain.Â
S.R. Siantuiri dalam bukunya yang berjudul Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya memberi contoh sebagai berikut.
Misalnya tangan seseorang dipegang, lalu dipaksa membubuhkan tanda tangan sehingga terjadi pemalsuan dokumen. Maka orang yang dipaksa tidak dapat dipidana.
Meski begitu, kejadian di atas sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya. Hal itu karena sebenarnya orang yang disuruh adalah korban karena tidak ada pilihan lain.
Kedua, daya paksa bersifat relatif. Beda halnya dengan absolute, maka daya paksa relatif seseorang memiliki pilihan.Â
Misalnya jika seorang atasan menyuruh karyawannya melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang, jika tidak maka karyawan tersebut akan dipecat.
Maka karyawan hanya memilih, apakah ia akan rela dipecat atau menuruti perintah atasannya meski harus melanggar hukum.
Jika si karyawan memilih perintah atasan, maka ia tidak bisa dipidana karena adanya tekanan dari atasan berupa ancaman pemecatan. Di sini kondisi karyawan jauh lebih lemah karena posisi jabatan yang berbeda.
Ketiga, karena keadaan darurat. Berbeda dengan keadaan relatif, dalam keadaan darurat ini orang terpaksa itu sendiri yang memilih peristiwa pidana mana yang akan ia lakukan.
Misalnya seorang pemadam kebakaran yang merusak kaca demi menyelamatkan orang lain. Meski merusak kaca masuk ke dalam pidana, tetapi hal itu terpaksa dilakukan demi menyelamatkan orang lain.
Dari tiga jenis daya paksa di atas, jika dalam kasus Holywings si atasan yang meminta konten promosi tersebut dan disertai ancaman, jelas termasuk ke dalam daya paksa alternatif.
Dalam kondisi itu, tentu karyawan hanya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu dipecat atau melakukan perbuatan yang atasan minta. Maka karyawan tersebut seharusnya tidak bisa dipidana.
Tulisan ini bukan berarti bermaksud menyudutkan pihak Holywings. Tentu tujuan tulisan ini agar kita umumnya karyawan menjadi tahu terkait regulasi.
Lebih dari itu, tulisan ini tidak lebih hanya ingin membahas "daya paksa" dalam kasus Holywings, tentu ini hanya asumsi pribadi dan sekali lagi tidak bermaksud menyudutkan pihak manapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H