Meski hanya asumsi, tapi tidak ada salahnya jika kondisi ini dibahas. Tentu kita akan belajar sedikit ilmu hukum dalam artikel ini.
Di dalam kasus ini orang yang disuruh (dipaksa) melakukan tidak bisa dipidana. Dalam hal ini jika orang yang disuruh tersebut murni karena tidak tahu, kekeliruan (dweling), atau paksaan maka tidak ada "unsur kesalahan" atau unsur kesalahan itu ditiadakan.
Hal itu sudah dengan gamblang diatur dalam Pasal 48 KUHP yang berbunyi sebagai berikut.Â
Orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana.
Daya paksa sendiri bisa ditafsirkan pengaruh paksaan batin, lahir, mapun jasamani. Daya paksa yang tidak dapat dilawan ialah kekuasaan yang umumnya tidak bisa ditentang. Terkait hal itu, kekuasaan ini dibedakan menjadi tiga.
Pertama, kekuasaan absolute. Kekuasaan absolute di sini seseorang tidak dapat berbuat apapun. Tidak ada pilihan lain.Â
S.R. Siantuiri dalam bukunya yang berjudul Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya memberi contoh sebagai berikut.
Misalnya tangan seseorang dipegang, lalu dipaksa membubuhkan tanda tangan sehingga terjadi pemalsuan dokumen. Maka orang yang dipaksa tidak dapat dipidana.
Meski begitu, kejadian di atas sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya. Hal itu karena sebenarnya orang yang disuruh adalah korban karena tidak ada pilihan lain.
Kedua, daya paksa bersifat relatif. Beda halnya dengan absolute, maka daya paksa relatif seseorang memiliki pilihan.Â
Misalnya jika seorang atasan menyuruh karyawannya melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang, jika tidak maka karyawan tersebut akan dipecat.