Pernyataan kedua jelas kontroversi. Si anak yang diam dan tidak melawan seakan-akan menyatakan setuju pada perbuatan tersebut. Padahal diam dan tidak melawan bukan berarti menerima.
Inilah yang disebut dengan relasi kuasa dan/atau gender. Diamnya korban karena ada ketimpangan kuasa mau pun gender.
Relasi kuasa atau gender memposisikan pelaku memiliki posisi yang dominan dibanding korban. Misalnya pelecehan oleh dosen terhadap mahasiswa.
Jelas sang dosen memiliki kuasa penuh atas mahasiswa. Bisa saja si dosen memberi ancaman pada korban sehingga korban diam dan ditafsirkan menerima.
Begitu juga dengan kasus di atas jelas ada ketimpangan relasi kuasa dan gender. Diamnya si anak bukan berarti dia menerima perbuatan tersebut.
Akan tetapi karena ada ketimpangan relasi gender sehingga sang anak tidak bisa melawan. Pelaku jelas lebih dominan daripada korban baik dari sisi fisik mau pun sisi lainnya.Â
Itulah sebabnya korban hanya diam karena memang tidak bisa melawan dan sekali lagi diamnya korban bukan berarti setuju. Jangankan anak kecil, orang dewasa pun tidak bisa melawan jika sudah terjadi hal itu.
Banyak di antara kita yang sering melontarkan komentar miring pada korban pelecehan seksual. "Kalau tidak mau, mengapa tidak melawan." Ucapan itulah yang sering kita dengar.
Secara tidak langsung Kapolsek Sidayu melakukan hal yang sama. Padahal ada satu alasan mengapa korban pelecehan atau kekerasan seksual tidak melawan.
Dalam jurnal Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavica yang terbit pada tahun 2017, peneliti menyebut 70% korban perkosaan tidak melawan karena mengalami sensasi seolah tubunya lumpuh.
Akibatnya korban tidak bisa melawan dan hanya diam saja. Sensasi mendadak lumpuh sebenarnya lumrah terjadi terutama dalam hal bahaya.