Tentu hal itu akan mempermudah program pemerintah. Hal ini bisa kita lihat dari lolosnya UU IKN. Sudah pasti jika mayoritas partai politik berkoalisi dengan pemerintah maka kebijkan pemerintah di DPR akan berjalan mulus.
Selain merangkul partai di parlemen, Jokowi juga merangkul tiga partai non-parlemen yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Perindo, dan PBB.
Elit ketiga partai non-parlemen tersebut diberi jatah wakil menteri, yaitu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Jokowi juga terlihat menghindari gesekan antara partai pengusung pemerintah. Hal ini karena Jokowi tidak mengotak-atik posisi menteri yang diduduki oleh kader partai.
Justru Jokowi merombak dua posisi kementerian yang diisi oleh profesional yaitu Sofyan Djalil dan M. Luthfi. Tentu keduanya bukan orang partai, sehingga dicopot pun tidak akan menjadi persoalan politik karena keduanya tidak memilik backing yang kuat.
Tentu perombakan itu untuk menghindari gesekan internal partai politik pengusung pemerintah. Padahal, jika kita melihat pada uraian di atas, Jokowi sebenarnya sudah menyinggung beberapa menteri.
Akan tetapi, nama-nama di atas sangat riskan jika dicopot karena akan berpengaruh pada stabilitas politik. Sebut saja Airlangga Hartanto, tentu akan terjadi gejolak di internal partai pengusung jika Jokowi mencopotnya.
Apalagi Golkar merupakan pemegang kursi terbanyak kedua di parlemen. Tentu jika terjadi gesekan maka akan menghambat program pemerintah karena dukungan dari parlemen berkurang.
Itu sebabnya Jokowi memilih merombak dua posisi menteri yang secara dukungan politik lemah. Tentu Jokowi sangat memperhitungkan ini dengan cermat.
Pemilihan kedua menteri ini juga menjadi sorotan. Dipilihnya Zulkifli Hasan semakin menegaskan jika Jokowi tengah memperkuat posisinya baik di pemerintahan mau pun di parlemen.
Memang secara rekam jejak, Zulkifli Hasan memiliki pengalaman sebagai menteri saat menjabat Menteri Kehutanan. Akan tetapi, lain lagi dengan Hadi Tjahjanto.