Maka, semua orang langsung tertuju pada saya mengapa tidak membawa pasangan. Jujur, saya risih dengan pertanyaan itu. Kita seakan-akan dituntut untuk memenuhi norma sosial tersebut.
Di dalam masyarakat seakan tercipta satu standar. Jika umur sekian harus menikah, umur sekian punya anak dan sebagainya. Dan kita dituntut untuk memenuhi hal itu.
Padahal kita tidak terikat dengan hal di atas. Urusan menikah atau melajang jelas pilihan yang ditentukan pribadi. Bukan kewajiban kita juga harus memenuhi tuntutan tersebut.
Kapan Punya Anak
Jangan harap setelah menikah akan bebas dari pertanyaan yang tak penting. Setelah menikah, masih ada pertanyaan yang harus kita jawab, yaitu kapan punya anak.
Ini pun masuk ke dalam ranah privat. Hak setiap pasangan untuk menunda atau memilih waktu yang tepat untuk memiliki anak, bahkan chidlfree sekalipun.
Hanya saja, kita seolah-olah dituntut untuk memenuhi standar di atas. Padahal memiliki anak perlu kesiapan yang pas. Baik dari sisi finansial maupun mental.
Jadi, keputusan seseorang untuk memiliki anak atau tidak jelas bukan urusan kita. Masyarakat kitalah yang terlalu ikut campur dengan urusan pribadi seseorang.
Seharusnya kita bisa membedakan mana ranah privat dan ranah publik. Perihal rumah tangga jelas ranah privat dan tak elok jika harus ada pihak luar yang ikut campur.
Hanya saja, kesadaran masyarakat kita akan hal ini masih kurang. Pertanyaan sepele itu dianggap wajar, padahal bagi penerima pertanyaan sangat mengganggu.
Kapan Lulus
Sepertinya, masyarakat kita memang asyik masuk ke dalam kehidupan pribadi seseorang. Momen horor pun kerap ditemui bagi mahasiswa yang belum lulus.
Apalagi jika sudah semester akhir. Maka pertanyaan kapan lulus akan datang terus menerus. Memang hal itu sepele, tapi untuk bisa lulus tentu tidak mudah.