Setelah melewati proses yang panjang, pemerintah bersama DPR sepakat untuk mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan (RUU TPKS) pada Selasa, 12 April 2022 lalu.
Kepastian itu didapat setelah fraksi menyetujui secara aklamasi pengesahan RUU TPKS. Sejalan dengan itu, Puan Maharani mengetuk palu tanda bahwa RUU TPKS telah disahkan.
Sebelumnya, dalam pembicaraan tingkat I, pembahasan sedikit lebih lama. Hal itu karena Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya partai yang konsisten menolak RUU TPKS.
Penolakan itu kemudian berlanjut pada pembicaraan tinfkat II dalam rapat paripurna. Konsistennya PKS dalam menolak RUU TPKS yaitu terdapat frasa ”persetujuan untuk melakukan hubungan seksual” atau sexual consente.
Menurut Fraksi PKS, seharusnya hal ini dialarang untuk mereka yang belum menikah. Anggapan legalisasi zina pernah mencuat kala itu.
Begitu juga ketika Mendikbudristek pernah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 yang disebut melegalkan zina.
Perjalanan RUU TPKS sebenarnya dimulai pada tahun 2012 lalu. Komnas Perempuan adalah lembaga yang menginisasi RUU ini dengan nama awal RUU Penghapusan Kekerasa Seksual (RUU PKS).
Pembahasan RUU ini kemudian dimulai pada tahun 2016. Pada tahun 2017, RUU PKS sempat masuk prolegnas akan tetapi ditarik kembali pada tahun 2018 karena masih kontroversi. Sampai tahun 2020, pro kontra terhadap RUU PKS terus berlanjut.
Nama RUU PKS kemudian diiubah menjadi RUU TPKS dengan beberapa pertimbangan. Sampai akhirnya, pada tahun 2022 RUU TPKS disahkan dalam rapat paripurna.
Tentu saja pengesahan ini tidak terlepas dari perjuangan panjang para aktivis, khususnya mereka yag menentang kekerasan seksual. Nyatanya, korban kekerasan seksual sulit mendapatkan keadilan.
Untuk sebab itu, banyak pihak yang mendorong agar RUU TPKS disahkan karena berpihak pada korban.
Dalam RUU TPKS sendiri memasukkan sembiilan bentuk kekerasan seksual di antaranya:
pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterlisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual bebasis elektronik, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.
Belum Sempurna
Tentunya, kita harus mengapresiasi Langkah DPR dalam mengesahkan RUU TPKS. RUU ini sudah sejak lama ditunggu khususnya kaum Wanita yang rentan terhadap kekersan seksual.
Langkah ini dinilai tepat karena pada 2021 lalu, kasus kekerasan seksual begitu menjamur. Sudah sepatunya tugas seorang DPR dalam legislasi harus mengedepankan asas prioritas.
Apalagi, dilihat dari kondisi sosiologis masyarakat kasus kekerasan seksual begitu mengkhawatirkan. Sejauh ini, aturan yang ada belum berpihak pada korban.
Misalnya korban harus dibebankan dengan pembuktian, hal itu jelas akan menyulitkan para korban sehingga korban enggan untuk melapor. Pada akhirnya, para korban lebih memilih “melapor” di media social.
Meski begitu, para korban tidak bisa tenang karena masih diintai oleh UU ITE yang dinilai memiliki pasal yang tidak jelas alias karet.
Pada akhirnya, korban kekerasan atau pelecehan seksual justru ditekan oleh pihak lain dan dipaksa meminta maaf dengan dalih pencemaran nama baik.
Konsisi inilah yang membuat korban kekerasan seksual enggan bersuara. Meski sudah disahkan, nyatanya RUU TPKS dinilai masih belum sempurna.
Hal itu karena dua jenis Tindakan kekerasan seksual dikeluarkan dari RUU ini yaitu perkosaan dan pemaksaan aborsi.
Di dalam draf terbaru, sebetulnya perkosaan diatur dalam Pasal 4 ayat 2. Perkosaan sendiri termasuk dalam tindak pidana kekersan seksual hanya saja tidak diatur mengenai ancaman hukumannya. Untuk aborsi sendiri memang tidak diatur dalam RUU TPS yang disahkan oleh DPR.
Alasan pemerintah menarik dua jenis tindak pidana tersebut karena keduanya telah diatur dalam RUU KUHP. Hal itu agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pengaturannya.
Hal itu diungkapkan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Hiariej.
“Kita kemudian menyempurnakan rumusan mengenai aborsi dan pemerkosaan di dalam RUU KUHP itu.” (CNN Indonesia)
Hal itu tentu menjadi pertanyaan, mengapa perkosaan dikeluarkan dari RUU TPKS. Padahal, RUU KUHP adalah aturan hukum yang bersifat umum (lex genaralis) dan RUU TPKS adalah aturan yang bersifat khusus (lex specialis).
Artinya, setiap tindak pidana kekerasan seksual seharusnya diatur secara mendetail di dalam aturan yang lebih khusus. Kekhususan lain yang diatur dalam aturan khusus adalah dari sisi pidana yang diatur.
Di mana, pidana yang diatur dalam aturan khusus jauh lebih berat daripada pidana yang diatur dalam aturan umum.
Meski begitu, nantinya jika sudah ditentukan rumusan yang tepat terkait perkosaan dalam RUU KUHP, sebaiknya selaras pengaturannya dengan RUU TPKS.
Sehingga, penegak hukum nantinya dalam menindak kasus perkosaan akan memakai aturan yang lebih khusus yaitu RUU TPKS. Dan tentunya, poin yang lebih penting adalah RUU TPKS berpihak pada korban.
Hal ini berbeda dengan RUU KUHP yang hanya berfokus pada pelaku saja. Untuk aborsi sendiri sudah daitur dalama UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Di dalam pasal 75, terdapat satu ketentuan pengecualian melakukan aborsi. Alasan pertama adalah adanya alasan medis, dan alasan kedua adalah korban perkosaan.
Jaminan bagi korban perkosaan untuk melakukan aborsi juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Aturan lainnya adalah peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Aborsi atas Indikasi kedaruratan Medis dan Kehamilan Akbiat Perkosan.
Meski ada payung hukumnya, mereka yang mendapatkan pengecualian itu sering kali sulit mendapatkan layanan aborsi yang aman. Sehingga, opsi yang dipakai adalah aborsi illegal seperti minum obat-obatan.
Di dalam Pasal 194 UU Kesehatan diatur larangan mengenai aborsi jika tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 75 yang berbunyi:
Setiap orang yang sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dakam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1 miliar rupiah.
Pasal 194 di atas menjadi pertanyaan, khususnya pribadi penulis sendiri. Frasa setiap orang itu, siapa saja. Apakah mereka yang memaksa melakukan aborsi termasuk ke dalam frasa setiap orang tadi atau tidak?
Jika melihat rumusannya, maka tidak diatur dengan tegas tentang si pemaksa aborsi. Aturan lain yang merujuk itu terdapat dalam Pasal 347 dan 348 KUHP.
Meski tidak disebut pemaksaan aborsi, akan tetapi di dalam kedua pasal itu terdapat frasa “tanpa persetujuan” dan “persetujuan.”
Frasa tanpa persetujuan sendiri bisa diartikan adanya pemaksaan aborsi. Untuk itu, sama halnya dengan perkosaan, pengaturan aborsi harus sejalan dengan UU TPKS yaitu perlindungan bagi korban.
Implementasi
Hal terpenting dalam penegakkan hukum adalah impelementasi agar tercipta keadilan. Untuk menciptakan hukum yang adil, menurut hemat penulis ada dua syarat yang harus dipenuhi.
Pertama adalah aturan yang baik dan kedua adalah integritas penegak hukum.
Jika aturan tersebut rancu, maka keadilan tidak akan tercipta.
Contoh aturan yang rancu adalah UU ITE. Penegak hukum tentu berpegang pada aturan yang berlaku dan bertindak sesuai yang diperintahkan undang-undang.
Sebaliknya, jika suatu undang-undang sudah berjalan dengan baik, maka kewajiban penegak hukum adalah impelementasi undang-undang tersebut dengan baik. Untuk itu, dibutuhkan penegak hukum yang berintegritas.
Jika dua hal itu berjalan, maka keadilan bisa diciptakan. RUU TPKS adalah undang-undang yang baik karena mengakomodasi korban.
Langkah selajutnya yang perlu kita nanti adalah penegakkan aturannya. Jika satu undang-undang yang dinilai melindungi korban belum berpihak padanya, maka yang perlu diperbaiki bukan lagi undang-undangnya melainkan moral para penegak hukum
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI