Untuk sebab itu, banyak pihak yang mendorong agar RUU TPKS disahkan karena berpihak pada korban.
Dalam RUU TPKS sendiri memasukkan sembiilan bentuk kekerasan seksual di antaranya:
pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterlisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual bebasis elektronik, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.
Belum Sempurna
Tentunya, kita harus mengapresiasi Langkah DPR dalam mengesahkan RUU TPKS. RUU ini sudah sejak lama ditunggu khususnya kaum Wanita yang rentan terhadap kekersan seksual.
Langkah ini dinilai tepat karena pada 2021 lalu, kasus kekerasan seksual begitu menjamur. Sudah sepatunya tugas seorang DPR dalam legislasi harus mengedepankan asas prioritas.
Apalagi, dilihat dari kondisi sosiologis masyarakat kasus kekerasan seksual begitu mengkhawatirkan. Sejauh ini, aturan yang ada belum berpihak pada korban.
Misalnya korban harus dibebankan dengan pembuktian, hal itu jelas akan menyulitkan para korban sehingga korban enggan untuk melapor. Pada akhirnya, para korban lebih memilih “melapor” di media social.
Meski begitu, para korban tidak bisa tenang karena masih diintai oleh UU ITE yang dinilai memiliki pasal yang tidak jelas alias karet.
Pada akhirnya, korban kekerasan atau pelecehan seksual justru ditekan oleh pihak lain dan dipaksa meminta maaf dengan dalih pencemaran nama baik.
Konsisi inilah yang membuat korban kekerasan seksual enggan bersuara. Meski sudah disahkan, nyatanya RUU TPKS dinilai masih belum sempurna.
Hal itu karena dua jenis Tindakan kekerasan seksual dikeluarkan dari RUU ini yaitu perkosaan dan pemaksaan aborsi.