Konflik yang melibatkan Rusia dan Ukraina mengundang banyak respon dari belahan dunia. Beberapa pemimpin dunia mengecam tindakan Rusia dan mendesak agar invansi tersebut dihentikan.
Selain mengecam, beberapa negara memberi sanksi ekonomi pada Rusia. Amerika Serikat merupakan negara pertama yang memberikan sanksi ekonomi pada Rusia.
Misalnya Amerika memotong separuh produk impor teknologi dari Rusia. Selain itu, dalam sektor energi juga Amerika melarang perusahaan energi menambah modal pada sektor keuangan barat.
Sanksi Amerika juga menyasar pada individu yaitu Vladimir Putin dan Menteri Luar Negerinya. Amerika memberi sanksi larangan perjalanan kepada keduanya.
Selain Amerika, Inggris juga memberi sanksi tegas pada Rusia. Inggris bahkan membekukan aset-aset perusahaan hingga individu Rusia yang berada di Inggris.
Imbasnya adalah pemilik klub Chelsea yang merupakan orang Rusia yaitu Roman Abramovich memilih melepas kepemilikan klub asal London tersebut.
Baca juga:Â Imbas Konflik Rusia Ukraina, Abramovich Resmi Lepas Chelsea
Selain dari sisi ekonomi, keuangan, dan energi, sanksi kepada Rusia juga datang dari dunia olahraga khususnya sepakbola.
UEFA dan FIFA sepakat memberi sanksi tegas pada Rusia. Spartak Moscow yang merupakan satu-satunya wakil Rusia di Eropa harus menelan pil pahit lantaran UEFA mendepak klub tersebut.
Akibat sanksi tersebut, Spartak Moscow praktis tidak akan melakoni laga 16 besar Liga Eropa melawan RB Leipzig pada 11 Maret mendatang.
Selain klub, timnas Rusia juga menerima sanksi dari Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA). FIFA memboikot Rusia dari play-off Piala Dunia 2022 Qatar. Sehingga dapat dipastikan Rusia tidak bisa tampil di ajang paling bergengsi tersebut.
Padahal, Rusia harus melakoni play-off melawan Polandia. Namun, Polandia menolak bertanding melawan Rusia sebagai bentuk dukungan terhadap Ukraina.
Striker timnas Polandia yaitu Robert Lewandowski mendukung tindakan itu. Dirinya menyebut sulit untuk membayangkan bertanding melawan Rusia yang menginvansi Ukraina.
Sanksi dari dunia olahraga maupun ekonomi menegaskan jika dunia tengah berperang melawan Rusia. Tentu saja dengan cara berbeda tanpa mengangkat senjata.
Standar Ganda
Masyarakat dunia saat ini bersimpati pada Ukraina. Banyak warga sipil yang tidak tahu menahu soal konflik tersebut menjadi korban perang.
Terbaru, serangan Rusia tersebut telah menyebabkan dua pesepak bola asal Ukraina meninggal dunia. Kedua pesepak bola itu adalah Dmyto Martynenko dan Vitalii Sapylo.
Dmytro Martynenko merupakan pesepak bola yang bermain untuk klub FC Hostomel. Di musim lalu, Martynenko merupakan pemain terbaik divisi dua Ukraina dan menyandang gelar top scorer.Â
Sementara itu, Vitalii Sapylo merupakan pesepak bola yang bermain di klub divisi dua Ukraina, Karpaty Lviv. Pemain 21 tahun itu tewas dalam pertempuran di dekat Kiev.
Di sisi lain, aksi solidaritas terhadap Ukraina diserukan oleh klub maupun pemain Eropa. Misalnya dalam laga Everton melawan Manchester City  dalam lanjutan Liga Inggris pada 27 Februari lalu.
Para pemain Everton terlihat membawa bendera Ukraina ke lapangan hijau. Tentu hal itu sebagai bentuk dukungan moril pada Ukraina.
Sementara Mancehster City menempelkan bendera biru kuning pada jaket pemain. Tak hanya itu, di papan skor juga terdapat tulisan yang berisikan "setop perang."
Meski tujuan solidaritas tersebut baik, yakni memberi dukungan moril pada Ukraina, nyatanya tidak semua pihak setuju bahkan ada yang menolak tindakan tersebut begitu juga dengan keputusan FIFA.
Penolakan tersebut datang dari belahan dunia ketiga, khususnya Timur Tengah. Beberapa kalangan menilai, apa yang dilakukan FIFA maupun UEFA seakan memberlakukan standar ganda.
Sudah menjadi rahasia, jika sepak bola sejatinya tidak boleh dikaitan dengan isu politik. Akan tetapi, kalangan yang menolak menyebut jika FIFA seakan diam tak kala invansi serupa terjadi pada negara Timur Tengah.
Beberapa pemain yang menyuarakan solidaritas pada Palestina kerap diberi teguran agar tidak mencampuri urusan politik dengan sepak bola. Akan tetapi, dalam kasus ini FIFA maupun UEFA bersikap berbeda.
Begitu juga dengan sikap FIFA yang dinilai tidak konsisten. Bagi mereka yang tidak setuju, seharusnya baik FIFA dan UEFA memberi sanksi serupa pada Israel dan memboikot mereka.
Bahkan, pesepak bola asal Turki yaitu Aykut Demir menolak aksi solidaritas Ukraina. Ia beralasan di Timur Tengah korban terus berjatuhan akibat perang, tapi aksi solidaritas tidak ada
Pertandingan mempertemukan Erzurumspor vs Ankaragucu di divisi kedua Liga Turki, mayoritas pemain dari kedua kesebelasan sebelum bertanding mengenakan kaus bertuliskan 'Savasa Hayir No War' yang merujuk pada penolakan invasi Rusia ke Ukraina.
Hanya Aykut Demir saja yang memakai jersey seperti biasa. Hal itu ia lakukan sebagai bentuk protes karena selama ini di Timur Tengah mengalami hal sama.
Tidak hanya Aykut Demir, mantan pemain Mesir yaitu Mohamed Aboutrika menilai adanya perbedaan dukungan solidaritas. Menurutnya, sanksi yang sama juga harus diberikan pada Israel.
Keputusan melarang klub-klub Rusia berpartisipasi di berbagai kompetisi sepak bola seharusnya dibarengi dengan larangan yang sama terhadap klub dan tim yang berafiliasi dengan Zionis. (Israel) menjajah dan membunuh anak-anak serta perempuan di Palestina selama menahun, tapi (FIFA) memakai standard ganda. (republika)
Lantas apakah benar jika yang dilakukan oleh FIFA maupun UEFA adalah standar ganda? Jika melihat fakta di atas, rasanya sulit untuk tidak menyebut jika FIFA tidak melakukan standar ganda.
Bagi saya, tidak ada salahnya jika pesan perdamaian disampaikan dalam bentuk apapun termasuk dalam dunia olahraga.Â
Dalam melihat setiap konflik apalagi menyebabkan korban banyak, hal yang harus kita lihat adalah sisi kemanusiaan yang harus dibayar mahal dari konflik tersebut.
Mengampanyekan kedamaian adalah cara untuk melawan perang kemanusiaan di era modern. Sepak bola sebagai olahraga yang digemari orang di seluruh dunia tentu mampu menjangkau banyak orang untuk pesan kemanusiaan tersebut.
Hanya saja, standar yang sama juga harus diberikan pada negara lain yang sebut saja mengalami hal serupa. Sehingga semua dukungan didapatkan oleh siapapun tanpa diskriminasi.Â
Meski begitu tentu harus ada batasan alias norma yang mengatur hal ini agar tidak mengampanyekan sesuatu yang bersifat negatif. Artinya, jika apa yang dilakukan sesuai koridor hukum yang jelas tidak masalah.
Hanya saja, hal tersebut harus dilakukan secara merata pada negara manapun. Untuk itu, dalam menyikapi konflik semacam ini, marilah kita lihat sisi kemanusiaanya saja bukan dari sisi politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H