Kedua asas itu memiliki konsekuensi, yaitu seseorang bisa memiliki dua kewarganegaraan ganda (bipatride) dan tanpa kewarganegaraan (apatride).Â
Bipatride dan apatride bisa terjadi karena beberapa sebab, di antaranya melalui migrasi dan perkawinan campuran.Â
Misalnya A dan B warga negara X yang menganut asas ius sanguinis (pertalian darah). Karena suatu hal, A dan B pindah ke negara Y yang menganut asas ius soli.Â
Di negara Y, A dan B kemudian melahirkan anak, maka si anak memiliki dua kewarganegaraan yaitu warga negara X dan Y.Â
Apatride terjadi jika A dan B warga negara X yang menganut asas ius soli, A dan B kemudian pergi ke negara Y yang menganut asas ius sanguinis. A dan B kemudian melahirkan di negara Y, maka anak A dan B tidak memiliki kewarganegaraan alias apatride.
Kewarganegaraan ganda juga bisa terjadi melalui perkawinan campuran. Yang dimaksud perkawinan campuran bukan perkawinan beda agama melainkan perkawinan yang berbeda kebangsaan.Â
Di Indonesia sendiri, anak yang lahir dari perkawinan campuran diakui sebagai WNI dan memiliki kewarganegaraan ganda secara terbatas. Mengapa terbatas? Karena di usia 18 tahun mereka harus memilih salah satu.Â
Jadi, Indonesia hanya mengakui kewarganegaraan tunggal saja. Di dalam UU Kewarganegaraan, ada beberapa pasal yang menjadi bahan kajian, khususnya dalam ilmu hukum.Â
Misalnya dalam Pasal 6 ayat 3, bagi anak yang lahir dari hasil perkawinan campur diwajibkan untuk memilih salah satu kewarganegaraan ketika si anak berusia 18 tahun.
Pernyataan itu harus disampaikan paling lambat 3 tahun setelah si anak berusia 18 tahun. Lalu, bagaimana jika terlambat memberi pernyataan? Tentu secara otomatis akan menjadi WNA seutuhnya.Â
Lalu, bagaimana dengan anak yang lahir dari perkawinan campuran sebelum undang-undang ini disahkan? Bagaimana status kewarganegaraannya?Â