Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mempertanyakan Keberadaan DPRD di Ibu Kota Negara Baru

28 Januari 2022   09:26 Diperbarui: 31 Januari 2022   02:01 1244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proyek ibu kota negara baru menuai polemik. Salah satunya terkait dengan sistem pemerintahan yang akan digunakan nanti. | Sumber: KOMPAS.com

Wacana pemindahan ibu kota negara sejak lama digaungkan oleh Bung Karno. Pada era sekarang pemindahan ibu kota akan segera terwujud setelah RUU Ibu Kota Negara (IKN) disahkan menjadi undang-undang. 

Nama Nusantara dipilih sebagai nama IKN nanti. Kalimantan dipilih sebagai lokasi ibu kota baru, lebih tepatnya di Kabupaten Penajam Paser Utara. 

Bukan tanpa alasan mengapa Kalimantan dipilih sebagai ibu kota negara baru. Dari sisi geografis maupun mitigasi bencana dinilai ideal. Namun, proyek prestisius ini tak lepas dari sorotan publik. 

Beberapa pihak justru mengkritik proyek ini. Misalnya pemilihan nama Nusantara yang dinilai kurang tepat. Selain itu, dari sisi anggaran pun tak lepas dari sorotan. 

Pemindahan ibu kota memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Setidaknya dibutuhkan 500 triliun lebih untuk mega proyek pemerintah kali ini. Lantas, darimana pemerintah mendapat anggaran itu? 

Apalagi, saat ini pemerintah masih terus berperang melawan covid-19. Belum lagi varian omicron telah mengganas akhir-akhir ini. Tidak sedikit proyek ini dinilai buru-buru. 

Selain itu, dari sisi legislasi tak lepas dari sorotan publik. Hal itu karena RUU IKN begitu cepat untuk disahkan. Bagaimana tidak, dalam waktu 43 hari RUU IKN mendapat dukungan hampir dari seluruh fraksi. 

Hal itu tidak heran, karena saat ini koalisi pemerintah begitu gemuk. Sehingga beberapa usulan undang-undang atas inisiatif pemerintah berjalan mulus. 

Hanya PKS satu-satunya partai yang menolak RUU ini. Bukan kali ini saja satu undang-undang dikerjakan secepat kilat. Revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja adalah contoh produk undang-undang yang cepat kilat. 

Sehingga, banyak yang meragukan prosedur pembentukan UU IKN. UU Cipta Kerja merupakan contohnya, undang-undang tebal tersebut selesai dalam waktu kurang lebih satu tahun. 

Nyatanya, MK menilai UU Cipta Kerja catat formil. Hal yang sama juga bisa terjadi dengan UU IKN. Bukan tidak mungkin, jika UU IKN sudah diundangkan, banyak pihak yang akan mengujinya di MK. 

Bisa saja kejadian serupa akan terjadi pada UU IKN. Tentu saja hal ini akan menimbulkan masalah baru terutama jika lokasi tersebut sudah diekesekusi. 

Selain itu, salah satu hal yang menjadi sorotan ialah susunan pemerintahan yang akan dipakai di IKN nanti. Hal itu mencakup pula bentuk kekhususan daerah IKN, struktur organisasi dan lainnya. 

Dari beberapa sumber yang saya dapatkan, nantinya penyelenggara IKN Nusantara adalah Kepala Otorita Nusantara. Hal itu dimuat dalam Pasal 8 UU IKN. 

Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Otorita IKN nantinya akan dibantu oleh seorang wakil. Hal itu diatur dalam Pasal 9 UU IKN yang berbunyi:

Otorita IKN Nusantara dipimpin oleh Kepala Otorita IKN Nusantara dan dibantu oleh seorang Wakil Kepala Otorita IKN Nusantara yang ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan langsung oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR. (KOMPAS.com)

Menariknya, nama-nama tokoh yang akan menjadi Kepala IKN Nusantara sudah muncul ke permukaan. Mulai dari Basuki Tjahaja Purnama, Menteri Sosial Tri Risma Maharani dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. 

Lebih dari itu, susunan pemerintahan IKN ini menarik untuk dikaji, apakah nantinya akan tunduk pada otonomi daerah atau memiliki kekhususan sendiri.

Namun, di dalam Pasal 11 dikatakan terkait dengan struktur organisasi, tugas wewenang, dan tata kerja Otorita IKN diatur di dalam Peraturan Pemerintah. 

Dari beberapa pasal di atas, tentu ada hal yang menarik untuk dikaji nantinya. Bukan tidak mungkin, jika pasal-pasal di atas akan diuji di Mahkamah Konstitusi. 

Misalnya terkait administrasi wilayah. Nantinya apakah IKN Nusantara akan setara dengan wilayah provinsi atau tidak? Atau justru mempunyai kekhasan sendiri. 

Jika mengacu pada Pasal 18 UUD 1945, wilayah Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Semua wilayah itu mempunyai pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam undang-undang. 

Tentu saja jika kita mengacu pada saat ini, maka di setiap pemerintahan daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD untuk melaksanakan sistem check and ballances. 

Tetapi, hal ini masih menjadi pertanyaan apakah di IKN nanti peran DPRD sebagai lembaga yang mengawasi Kepala IKN akan ada atau tidak? Jika tidak ada, maka sistem check and ballances tidak berjalan dengan baik. 

Tentu saja hal itu tidak demokratis dan bisa saja terjadi abuse of power. Selain itu, pemilihan Ketua IKN yang ditunjuk langsung oleh Presiden juga tidak sejalan dengan prinsip demokrasi. 

Hal itu diatur dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Bisa saja, penununjukkan Kepala IKN lebih bermuatan politis daripada mencerminkan demokrasi. 

Padahal, sudah sangat jelas bahwa negara kita adalah negara demokrasi. Hanya saja, kata tersebut tidak sejalan di lapangan. 

Memang, di DIY karena sejarahnya yang panjang, kepala daerah tidak dipilih langsung oleh rakyat, tapi tetap ada DPRD sebagai lembaga wakil rakyat sehingga sistem check and ballances terlaksana. 

Keberadaan DPRD sebagai wadah bagi aspirasi rakyat daerah semakin tidak terlihat. Hal itu di dalam UU IKN terdapat pengecualian dalam hal pemilu. 

Dalam Pasal 13 disebutkan bahwa IKN Nusantara hanya melaksanakan pemilihan umum presiden dan wakil presiden, Pemilu anggota DPR, dan Pemilu anggota DPD. 

Keberadaan IKN sebagai daerah khusus memang tidak menjadi masalah, hal itu sudah diatur dalam Pasal 18B UUD 1945. Namun, keberadaan DPRD harus tetap ada. 

Hal itu untuk menjamin bahwa demokrasi bisa berjalan di tingkat lokal maupun nasional. Peran DPRD di daerah layakanya DPR di tingkat nasional. 

Hal itu karena setiap daerah memiliki kebutuhan yang berbeda. Selain itu, kebutuhan daerah belum tentu diakomodir oleh pusat meskipun diwakili oleh DPD. 

Meskipun dalam tugasnya DPD memiliki peran untuk mengawasi undang-undang terkait otonomi daerah, tetap saja jika terjadi abuse of power tidak bisa bebuat apapun. 

Tentu saja hal ini berbeda dengan DPRD yang memiliki kewenangan untuk memberhentikan kepala daerah jika dinilai melanggar undang-undang. 

Di dalam UU IKN, Kepala Otorita IKN langsung bertanggung jawab pada presiden, dan presiden dapat memberhentikan Kepala Otorita. 

Itu artinya, Kepala Otorita IKN setingkat menteri bukan lagi sebagai gambaran kepala daerah. Jika setingkat menteri, maka saya bingung mengapa di dalam UU IKN susunannya seperti pemerintahan daerah. 

Sehingga pemerintah harus memberikan kejelasan terkait hal ini. Hal itu agar tidak menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun