Apapun itu, jika korban merasa dilecehkan tetap saja disebut pelecehan seksual. Di metaverse nanti, pelecehan seksual tidak hanya sekadar ucapan atau berisi teks mesum.Â
Tapi sudah menyentuh pada tindakan. Hal itu karena di metaverse, manusia atau disebut avatar merupakan gambaran tiga dimensi dari diri kita.Â
Avatar itu bisa melakukan apapun seperti kita di dunia nyata. Jadi, pelecehan yang terjadi di metaverse akan berupa fisik, meskipun terjadi jarak jauh, akan tetapi perbuatan itu masuk ke dalam fisik.Â
Misalnya meraba atau menyentuh alat vital seseorang. Apa yang disentuh hanya avatar dan tidak menyentuh fisik secara langsung, tapi avatar itu perwujudan dari seseorang.Â
Jadi, katakanlah ketika memakai kacamata VR hanya meraba angin, tetapi apa yang terjadi di metaverse adalah perbuatan yang tidak patut dan masuk ke dalam kategori "perbuatan langsung."
Hal ini sudah terjadi dalam uji coba yang dilakukan oleh meta. Seorang wanita yang ikut dalam Horizon World disebut mendapat perlakuan tidak senonoh dari orang lain.Â
Wanita tersebut merasa dilecehkan karena avatar (pengguna) lain meraba-raba dirinya. Mirisnya, tidak ada yang berusaha menghentikan aksi itu.Â
Inilah yang sudah saya jelaskan di atas. Meskipun apa yang diraba oleh pelaku angin, tetap saja di metaverse apa yang dilakukan pelaku adalah "perbuatan fisik."
Maka dari sini ada kesulitan yang harus dihadapi dari sisi regulasi. Utamanya dalam mendefinisikan perbuatan fisik dalam pelecehan seksual.Â
Apakah perbuatan fisik itu akan tetap didefinisikan bertemunya dua fisik secara langsung atau ada perluasan sendiri. Bagi saya, ini akan menjadi masalah baru bagi dunia hukum nanti.Â
Bisa saja apa yang disebut perbuat fisik termasuk juga menyentuh seseorang di dunia metaverse. Untuk itu, definisi ini harus lebih kompleks lagi agar metaverse bisa disentuh oleh hukum.Â