Teknologi akan terus berkembang ke arah yang lebih maju. Kemajuan itu menjadi keniscayaan tak kala teknologi bisa meringankan aktivitas manusia.Â
Misalnya dari sisi komunikasi, jika dulu kita harus antre di telfon umum agar bisa menghubungi sanak saudara, terobosan baru hadir yaitu telepon genggam yang bisa dibawa kemana-mana.Â
Beberapa fitur seperti internet membuat dunia saat ini ada dua. Jika dulu hanya ada realitas dan dunia ide, kini ada dunia maya. Di dunia maya, semua aktivitas bisa terjadi.Â
Sebut saja interaksi sosial hingga kegiatan ekonomi yang sudah beralih ke ranah digital. Namun, kemajuan teknologi itu dibarengi dengan tindak pidana baru.Â
Tindak pidana berbasis teknologi atau cyber crime menjadi hal serius. Apalagi undang-undang zaman dulu tidak mengatur cyber crime. Itu sebabnya, perkembangan teknologi akan diikuti oleh undang-undang baru.Â
Jika metaverse terwujud, maka potensi cyber crime yang terjadi akan jauh lebih nyata dari saat ini. Hal itu karena metaverse berusaha mewujudkan dunia digital yang menyerupai dunia nyata.
Maka, tindak cyber crime yang terjadi akan jauh lebih nyata. Itu sebabnya, jika hal ini benar-benar terwujud, maka regulasi yang ada harus bisa menjangkau dunia metaverse.Â
Menurut hemat penulis, ada beberapa tindak pidana yang berpotensi terjadi di dunia metaverse. Tindak pidana ini adalah bentuk lebih nyata dari cyber crime saat ini.Â
Pelecehan seksual
Pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Jika dahulu, pelecehan seksual harus bertemu secara fisik. Di dunia metaverse tidak demikian.Â
Sebenarnya hal ini sudah terjadi saat ini. Misalnya melecehkan harkat martabat seseorang lewat media sosial. Akan tetapi, perbuatan ini hanya sebatas teks atau pesan suara yang tidak pantas.Â
Apapun itu, jika korban merasa dilecehkan tetap saja disebut pelecehan seksual. Di metaverse nanti, pelecehan seksual tidak hanya sekadar ucapan atau berisi teks mesum.Â
Tapi sudah menyentuh pada tindakan. Hal itu karena di metaverse, manusia atau disebut avatar merupakan gambaran tiga dimensi dari diri kita.Â
Avatar itu bisa melakukan apapun seperti kita di dunia nyata. Jadi, pelecehan yang terjadi di metaverse akan berupa fisik, meskipun terjadi jarak jauh, akan tetapi perbuatan itu masuk ke dalam fisik.Â
Misalnya meraba atau menyentuh alat vital seseorang. Apa yang disentuh hanya avatar dan tidak menyentuh fisik secara langsung, tapi avatar itu perwujudan dari seseorang.Â
Jadi, katakanlah ketika memakai kacamata VR hanya meraba angin, tetapi apa yang terjadi di metaverse adalah perbuatan yang tidak patut dan masuk ke dalam kategori "perbuatan langsung."
Hal ini sudah terjadi dalam uji coba yang dilakukan oleh meta. Seorang wanita yang ikut dalam Horizon World disebut mendapat perlakuan tidak senonoh dari orang lain.Â
Wanita tersebut merasa dilecehkan karena avatar (pengguna) lain meraba-raba dirinya. Mirisnya, tidak ada yang berusaha menghentikan aksi itu.Â
Inilah yang sudah saya jelaskan di atas. Meskipun apa yang diraba oleh pelaku angin, tetap saja di metaverse apa yang dilakukan pelaku adalah "perbuatan fisik."
Maka dari sini ada kesulitan yang harus dihadapi dari sisi regulasi. Utamanya dalam mendefinisikan perbuatan fisik dalam pelecehan seksual.Â
Apakah perbuatan fisik itu akan tetap didefinisikan bertemunya dua fisik secara langsung atau ada perluasan sendiri. Bagi saya, ini akan menjadi masalah baru bagi dunia hukum nanti.Â
Bisa saja apa yang disebut perbuat fisik termasuk juga menyentuh seseorang di dunia metaverse. Untuk itu, definisi ini harus lebih kompleks lagi agar metaverse bisa disentuh oleh hukum.Â
Kesukaran lainnya adalah bagaimana jika pelecehan seksual itu dilakukan oleh dua pengguna yang berbeda warga negara. Tentu akan sulit harus memakai hukum yang mana.Â
Apalagi jika beda server, mungkin saja definisi wilayah berlakunya hukum pidana harus mencakup pula metaverse. Namun, saya sendiri masih bingung, apakah di metaverse sana wilayah akan menjadi satu atau tidak.Â
Jika tidak ada batas negara atau server, tentu hukum akan sulit menjangkau dari sisi wilayah. Di dunia nyata lebih gampang, misalnya untuk KUHP berlaku di wilayah Indonesia untuk semua orang.Â
Hal itu karena batas-batas wilayah negara jalas. Bagaimana di metaverse sana? Apakah dipisahkan dengan server atau tidak? Bagaimana batasan wilayah negara di metaverse?Â
Jika tidak ada batasan negara, lantas aruran mana yang akan dipakai? Itulah yang mengganjal pikiran saya sampai saat ini.Â
Kebocoran data pribadi
Facebook merupakan salah satu initiator metaverse. Bahkan, induk perusahaannya berubah nama menjadi meta. Sampai saat ini, facebook masih menjadi media sosial dengan pengguna terbanyak.Â
Pada Januari 2021, pengguna aktif bulanan facebook mencapai 2.7 miliar di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, pada tahun 2020 pengguna facebook mencapai 140 juta.Â
Sebagai media sosial dengan pengguna terbanyak, tentu facebook memiliki kewajiban untuk menjaga data pengguna agar tidak bocor.Â
Tentu saja data yang bocor rawan disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, bahkan politik. Kebocoran data facebook di Amerika adalah bukti nyata bahwa data bisa dimanfaatkan sebagai basis kuat dalam politik.Â
Sebanyak 50 juta pengguna data facebook dimanfaatkan untuk kampanye pemenangan oleh Donald Trump pada pemilihan presiden AS 2016 lalu.Â
Data yang bocor tersebut dimanfaatkan oleh Cambridge Analytica, sebuah perusahaan konsultasi politik di Inggris. Data tersebut kemudian digunakan untuk memetakan karakteristik pemilih.Â
Setelah mengetahui karakteristik pemilih, maka tim pemenagan tinggal menyusun kampamye yang bisa menarik pemilih tersebut. Buktinya, dalam kontestasi itu Trump keluar sebagai pemenang.Â
Kejadian serupa bukan tidak mungkin akan terjadi. Tentu saja di sini big tech tersebut mempunyai kewajiban agar kebocoran data pribadi tidak terjadi dan disalahgunakan.Â
Pencurian data pribadi
Beberapa bulan lalu, saya pernah menulis tentang catfishing, yaitu perbuatan mencuri data orang lain untuk digunakan kepentingan tertentu.
Jika catfishing saat ini hanya menempel foto profil di sosmed lalu melakukan aksi tidak terpuji seperti penipuan, maka di metaverse pencurian avatar menjadi lebih nyata.
Seseorang bisa mencuri avatar orang lain lalu menjadi orang tersebut dan melalukan tindak pidana. Tentu avatar di metaverse hidup, gambaran tiga dimensi dari pengguna.
Jadi, bisa dibayangkan bukan jika avatar kita digunakan oleh orang lain untuk kepentingan tertentu. Bahkan, atribut seperti baju dan lainnya akan mirip dengan kita.Â
Tentu saja hal ini jauh lebih mengerikan daripada hanya mencomot foto orang lain dan menempelkan di foto profil medsos. Seperti yang sudah saya bahas, kemajuan teknologi akan memicu kejahatan baru.Â
Begitu juga di metaverse, cyber crime di metaverse akan jauh lebih nyata dari saat ini. Untuk itu, agar siap masuk ke metaverse tidak hanya modal teknologi canggih saja.Â
Tapi harus dibarengi dengan undang-undang yang bisa melindungi pengguna metaverse. Undang-undang tersebut harus bisa menjangkau dunia metaverse agar pengguna lebih nyaman.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H