Siang tadi, saya membuka akun twitter hanya sekedar mengtweet. Kemudian saya membuka kolom trend, ada satu tagar yang ditweet puluhan ribu, hingga tulisan ini terbit, tweet tersebut kira-kira lebih dari 50 ribu.Â
Tagar tersebut berisi dukungan dari warga maya terkait kasus yang menimpa seorang mahasiswi bernama Novia Widyasari (NW). Dari beberapa sumber yang saya baca, NW adalah seorang mahasiswi pendidikan Bahasa Inggris dan harus mengakhiri hidupnya dengan jalan meminum racun.Â
Jasad NW tergeletak di samping makam ayahandanya. Dari beberapa info, bunuh dirinya NW bukan karena kepergian sang ayah. Melainkan karena kasus kekerasan seksual yang menimpa dirinya.Â
Dari beberapa thread yang beredar di twitter, NW sempat mengalami pelecehan seksual oleh seniornya di kampus. Namun, NW sulit mencari keadilan atas tindakan itu.Â
Tak lama setelah itu, datang seorang lelaki berinisial R kepada NW. Si R merupakan anggota kepolisian dan akhirnya mereka berdua menjalin kasih. Katanya R begitu baik pada NW sampai ia jatuh hati.Â
Suatu ketika, R mengajak NW liburan ke sebuah penginapan. R kemudian memberi obat pada NW, NW kemudian tertidur pulas dan disitulah R melakukan aksi bejatnya.Â
Empat bulan setelah itu, NW menyadari bahwa dirinya hamil oleh R. NW kemudian menuntut sang kekasih agar bertanggung jawab. Akan tetapi, R meminta NW untuk menggugurkan kandungan.Â
Tentu saja NW menolak itu karena ia akan membunuh calon anaknya. NW kemudian mengadu pada keluarga R. Keluarga R akan mencari jalan terbaik bagi keduanya.Â
Tidak lama  setelah itu, R tiba ke rumah NW dan mengatakan hal yang berbeda. Keluarga R mengatakan jika tidak bisa menikahkan R dengan NW. Hal itu karena R baru saja menjadi polisi dan butuh waktu untuk menikah.Â
Rumah NW kemudian mendapat teror berupa bom suara. Bahkan listrik rumah NW mati. Teror tersebut berlangsung selama dua hari. Hal itulah yang membuat NW begitu depresi dan tidak bisa menahan beban berat itu.
Depresi yang diterima oleh NW tidak hanya trauma karena diperlukan bejat oleh kekasihnya, tapi lingkungan pun memberi respon yang serupa.Â
Alih-alih memberi dukungan pada NW, pihak keluarga R justru memberi beban lebih. Jadi, bisa dibayangkan betapa beratnya beban yang harus diterima oleh NW.Â
Kasus di atas begitu menyayat hati bagi yang masih memiliki nurani. Setidaknya ada beberapa hal yang harus kita cermati dari kasus di atas. Pertama tentu terkait ketimpangan gender.Â
Pada kasus di atas, R mempunyai kuasa penuh pada NW sampai ia tega menyuruh NW untuk menggugurkan kandungan. Tanpa ia sadari, hal itu hanya akan memberi luka kedua yang akan diderita oleh NW.Â
Perilaku patriarki tersebut begitu dominan, perempuan kerap dianggap sebagai objek pelampiasan semata. Jalan aborsi yang dianjurkan oleh R begitu tak manusiawi, pikiran sempit itu hanya ingin menghilangkan jejak tanpa memerhatikan penderitaan NW. Â
Perilaku gaslighting tersebut hanya seolah-olah menunjukkan adanya kelas gender. Kelas bahwa kaum pria dominan terhadap kaum perempuan. Sejauh ini, mindset seperti itu masih tertanam di benak kita bahwa lelaki mempunyai kuasa lebih pada perempuan.
Padahal, kedudukan manusia sama. Tak ada yang membedakan itu, perempuan kerap sulit mendapatkan kebebasan, bahkan hanya untuk mengambil keputusan. Perilaku patriarki tersebut sudah menyebar ke lingkungan termasuk keluarga.Â
Bahkan, menurut beberapa sumber paman NW malah menyalahkan keponakannya sendiri atas kasus yang menimpa dirinya. Itu artinya, mau seperti apapun kasusnya, dalam kekerasan seksual perempuan tetap yang salah.Â
Perempuan kerap dianggap sebagai sumber dari datangnya perilaku bejat. Parahnya lagi jika hal itu sudah dikaitkan dengan pakaian. Pakaian kerap dijadikan kambing hitam, faktanya tidak demikian.Â
Kedua, korban pelecehan seksual sangat sulit mencari keadilan. Dari kasus NW, ia begitu linglung, entah apa yang harus dilakukan. Apalagi jika pelaku kekerasan seksual adalah penegak hukum, tentu saja hal itu hanya akan membuat kasusnya berlarut-larut.Â
Budaya patriarki itulah yang membuat korban enggan bersuara. Mereka seakan dibungkam oleh sistem yang merendahkan perempuan tersebut. Pada tahap inilah depresi itu datang dan trauma yang berkepanjangan.Â
Pada akhirnya, korban lebih memilih curhat dan melalor di media sosial. Lapor ke pihak polisi pun seakan percuma, apalagi setelah vrialnya tagar percuma lapor polisi.
Lingkungan dan regulasi yang tidak berpihak pada korban hanya membuat korban tambah depresi. Regulasi kita belum menyentuh pada pemulihan korban, khususnya kekerasan seksual.Â
Secercah harapan itu ada, namun masih saja bertabrakan dengan pemikiran ortodoks. Hal itu bisa kita lihat dari beberapa kalangan yang menolak RUU PKS dan Permendikbud PPKS.Â
Pemikiran ortodoks yang dibalut dalil agama itu masih saja berkeliaran tanpa melihat fakta di lapangan. Padahal, kedua regulasi itu sangat menyentuh korban.Â
Kasus kekerasan seksual yang terus merebak sampai saat ini sudah cukup bagi para legislator untuk memuluskan RUU TPKS. Fakta ini tidak bisa dibantah lagi, harus menunggu berapa korban lagi agar RUU ini lancar?Â
Bukankah dalam pembentukan undang-undang harus mengedepankan kepentingan umum? Apakah data dan kasus di atas tidak cukup? Inilah yang membuat ironi. Hukum seakan menjadi budak tak kala politik bicara.Â
Semoga saja, ke depannya kasus-kasus seperti ini tidak terulang kembali. Semoga tidak ada NW-NW lain yang muncul. Terakhir, jika tulisan ini kurang bernas saya minta maaf karena begitu emosi. Terakhir, semoga NW tenang di alam sana.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI