Depresi yang diterima oleh NW tidak hanya trauma karena diperlukan bejat oleh kekasihnya, tapi lingkungan pun memberi respon yang serupa.Â
Alih-alih memberi dukungan pada NW, pihak keluarga R justru memberi beban lebih. Jadi, bisa dibayangkan betapa beratnya beban yang harus diterima oleh NW.Â
Kasus di atas begitu menyayat hati bagi yang masih memiliki nurani. Setidaknya ada beberapa hal yang harus kita cermati dari kasus di atas. Pertama tentu terkait ketimpangan gender.Â
Pada kasus di atas, R mempunyai kuasa penuh pada NW sampai ia tega menyuruh NW untuk menggugurkan kandungan. Tanpa ia sadari, hal itu hanya akan memberi luka kedua yang akan diderita oleh NW.Â
Perilaku patriarki tersebut begitu dominan, perempuan kerap dianggap sebagai objek pelampiasan semata. Jalan aborsi yang dianjurkan oleh R begitu tak manusiawi, pikiran sempit itu hanya ingin menghilangkan jejak tanpa memerhatikan penderitaan NW. Â
Perilaku gaslighting tersebut hanya seolah-olah menunjukkan adanya kelas gender. Kelas bahwa kaum pria dominan terhadap kaum perempuan. Sejauh ini, mindset seperti itu masih tertanam di benak kita bahwa lelaki mempunyai kuasa lebih pada perempuan.
Padahal, kedudukan manusia sama. Tak ada yang membedakan itu, perempuan kerap sulit mendapatkan kebebasan, bahkan hanya untuk mengambil keputusan. Perilaku patriarki tersebut sudah menyebar ke lingkungan termasuk keluarga.Â
Bahkan, menurut beberapa sumber paman NW malah menyalahkan keponakannya sendiri atas kasus yang menimpa dirinya. Itu artinya, mau seperti apapun kasusnya, dalam kekerasan seksual perempuan tetap yang salah.Â
Perempuan kerap dianggap sebagai sumber dari datangnya perilaku bejat. Parahnya lagi jika hal itu sudah dikaitkan dengan pakaian. Pakaian kerap dijadikan kambing hitam, faktanya tidak demikian.Â
Kedua, korban pelecehan seksual sangat sulit mencari keadilan. Dari kasus NW, ia begitu linglung, entah apa yang harus dilakukan. Apalagi jika pelaku kekerasan seksual adalah penegak hukum, tentu saja hal itu hanya akan membuat kasusnya berlarut-larut.Â
Budaya patriarki itulah yang membuat korban enggan bersuara. Mereka seakan dibungkam oleh sistem yang merendahkan perempuan tersebut. Pada tahap inilah depresi itu datang dan trauma yang berkepanjangan.Â