Pada akhirnya, korban lebih memilih curhat dan melalor di media sosial. Lapor ke pihak polisi pun seakan percuma, apalagi setelah vrialnya tagar percuma lapor polisi.
Lingkungan dan regulasi yang tidak berpihak pada korban hanya membuat korban tambah depresi. Regulasi kita belum menyentuh pada pemulihan korban, khususnya kekerasan seksual.Â
Secercah harapan itu ada, namun masih saja bertabrakan dengan pemikiran ortodoks. Hal itu bisa kita lihat dari beberapa kalangan yang menolak RUU PKS dan Permendikbud PPKS.Â
Pemikiran ortodoks yang dibalut dalil agama itu masih saja berkeliaran tanpa melihat fakta di lapangan. Padahal, kedua regulasi itu sangat menyentuh korban.Â
Kasus kekerasan seksual yang terus merebak sampai saat ini sudah cukup bagi para legislator untuk memuluskan RUU TPKS. Fakta ini tidak bisa dibantah lagi, harus menunggu berapa korban lagi agar RUU ini lancar?Â
Bukankah dalam pembentukan undang-undang harus mengedepankan kepentingan umum? Apakah data dan kasus di atas tidak cukup? Inilah yang membuat ironi. Hukum seakan menjadi budak tak kala politik bicara.Â
Semoga saja, ke depannya kasus-kasus seperti ini tidak terulang kembali. Semoga tidak ada NW-NW lain yang muncul. Terakhir, jika tulisan ini kurang bernas saya minta maaf karena begitu emosi. Terakhir, semoga NW tenang di alam sana.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI