Beberapa waktu lalu, kakek Suhud dan Baim Wong menjadi perbincangan hangat di dunia maya. Pasalnya Baim melakukan perbuatan yang dinilai tidak terpuji pada kakek Suhud.Â
Baim dianggap tidak sopan terhadap kakek berusia 70 tahun tersebut. Namun, bukan hal itu yang ingin saya bahas. Datangnya kakek Suhud pada Baim tidak lain karena citra yang ia bangun melalui konten youtubenya.Â
Baim kerap membagi-bagikan uang pada mereka yang membutuhkan. Tidak jarang juga Baim cosplay menjadi ojol hingga menjadi tunawisma. Pada akhirnya Baim memberikan sejumlah uang pada mereka yang membutuhkan.Â
Jika kita melihat chanel YouTube Baim Wong, video dengan konten tersebut cukup banyak. Mungkin saja berjumlah ratusan, selain itu setiap konten yang diunggah tersebut mengundang jutaan penonton dan subscriber baru.Â
Konten yang seakan menjual kemiskinan itu berhasil menarik khalayak umum untuk singgah dan menonton chanel Baim Wong. Lantas, mengapa konten bertema kemiskinan tersebut begitu digemari?Â
Saya kira tidak hanya Baim Wong yang melakukan hal itu. Bahkan, acara TV pun kerap melakukan hal serupa. Acara TV bertema seperti itu bahkan cukup banyak.Â
Tidak sedikit juga dalam ajang pencarian bakat, kontestan tertentu justru digali latar belakang mereka yang kekurangan. Aksi menyanyinya hanya lima menit, tapi menelanjangi soal kemiskinan bisa sampai 30 menit.Â
Ketika sang kontestan menceritakan kehidupan mereka yang kurang beruntung, satu studio menjadi hening dan haru mendengar kisah itu. Pada akhirnya berujung dengan motivasi dari sang juri.Â
Mirisnya lagi, setelah ditelanjangi soal kemiskinan mereka, si kontestan ada juga yang tidak juara. Bahkan pulang saat itu juga dengan dibekali uang saku dari juri.
Tapi, konten yang menjual kemiskinan atau penderitaan orang lain kerap menyita banyak penonton, mengapa demikian?Â
Fenomena yang mengangkat kemiskinan atau penderitaan orang lain ternyata sudah ada sejak dulu. Para ahli menyebutnya dengan sebutan menohok yaitu proverty porn.Â
Proverty porn atau sebut saja konten kemiskinan adalah setiap jenis media, baik itu ditulis atau video yang mengeksploitasi kondisi kemiskinan seseorang untuk mendatangkan simpati untuk penjualan media itu sendiri, sumbangan amal atau tujuan lain
Singkatnya, konten kemiskinan adalah cara yang ditawarkan kepada penonton untuk memasarkan konten tersebut.Â
Tidak hanya mengeksploitasi kondisi kemiskinan seseorang, kondisi tersebut juga mengeksploitasi simpati penonton agar melakukan tujuan yang ingin dicapai oleh si pembuat konten.Â
Konten seperti ini awalnya muncul tahun 1980-an yang disebut dengan era keemasan amal. Kampanye ini menggunakan gambar yang menohok, misalnya kondisi seseorang yang kurang gizi.Â
Kondisi tubuh mereka yang kurus dan dikelilingi oleh lalat dijadikan alat untuk menarik simpati agar orang-orang sudi menyumbang. Terbukti, kondisi yang dijual tersebut mampu menghasilkan dana dalam jumlah besar.Â
Kampanye seperti itu sampai saat ini masih menjadi pro dan kontra. Pihak yang kontra menyebut cara tersebut tidak lebih hanya mengeksploitasi kondisi kemiskinan saja tanpa mencari jalan untuk menyelesaikan kemiskinan itu sendiri.Â
Di sisi lain, pihak yang pro menyebut jalan tersebut bisa memudahkan tercapainya tujuan sebuah organisasi amal. Beberapa organisasi amal dunia, seperti UNICEF kerap memakai strategi ini.Â
Cara berpikir yang sama juga berlaku pada konten-konten bertema kemiskinan yang bertebaran di media sosial. Bahkan, saya lupa siapa namanya ada seorang sultan yang membagi-bagikan uang di lampu merah.Â
Aksi tersebut viral, banyak ditonton oleh jutaan pasang mata. Bahkan sampai diposting oleh akun humor yang bertebaran di instagram. Caption yang biasa dipakai adalah "panjang umur kebaikan."
Media sosial termasuk YouTube tidak lebih seperti agora di masa Yunani kuno dulu. Agora kurang lebih seperti alun-alun, semua kegiatan terkumpul di sana. Kegiatan perdagangan jelas ada di agora, mereka masarkan barang dagangannya di sana.Â
Begitu juga di media sosial, para konten kreator sejatinya menjual dan memasarkan "karya" mereka di agora dunia maya ini. Cara yang dipakai agar orang mau "membeli" karya tersebut beragam salah satunya tema kemiskinan.Â
Seperti yang diulas di atas, secara tidak langsung kondisi penonton pun bisa dieskploitasi melalui naluri alaminya yaitu rasa simpati. Jika simpati itu sudah muncul, maka dengan senang hati kita akan "membeli" konten tersebut.Â
Pada akhirnya terciptalah pasar untuk konten semacam ini. Bahkan pasar ini besar, terbukti setiap konten yang diupload misalnya oleh Baim Wong selalu menarik jutaan penonton.
Baim Wong berhasil menjual kontennya di pasar agora dengan strategi proverty porn. Akhirnya konten tersebut laku dan banyak ditonton. Lalu, apa tujuan dari membuat konten semacam itu?Â
Apakah benar-benar murni amal atau ingin mendatangkan laba dari itu? Tentu saja ini soal ranah pribadi konten kreator. Tidak ada yang tahu niat atau tujuan sebenarnya si konten kreator melakukan hal itu.Â
Tapi, kita juga menjadi sulit menafikan bahwa kegiatan itu hanya untuk menarik laba saja. Tentu saja karena konten tersebut dijual di agora dunia maya ini.
Jika murni karena ingin berderma, saya kira semua juga tahu istilah tangan kanan memberi tangan kiri tidak boleh melihat.Â
Tapi, soal urusan ikhlas atau tidaknya biarlah kembali pada niat masing-masing si pembuat konten. Toh nyatanya setiap konten kemiskinan yang dibuat Baim Wong selalu ditonton oleh jutaan pasang mata.
Mereka yang tergerak rasa simpatinya dengan senang hati membeli konten itu. Tentu saja di balik banyaknya penonton dan subscriber akan menghasilkan laba yang besar. Baim Bahkan menjadi salah satu youtuber yang berpenghasilan tinggi di Indonesia.Â
Cobalah Anda cari sendiri pendapatan Baim Wong dari penjualan karyanya di agora maya, pasti bikin geleng-geleng kepala. Jadi, alasan mengapa konten bertema kemiskinan itu digemari tidak lain karena memainkan rasa simpati dari penonton.Â
Pada akhirnya konten seperti itu akan menciptakan pasarnya sendiri. Orang-orang miksin adalah modal awal dari konten semacam itu, mereka tidak lebih seperti alat untuk menghasilkan laba saja.Â
Sedangkan pasar dari konten semacam itu ya kita sendiri. Tidak ada yang salah dengan konten seperti itu, itu hanya salah satu cara para konten kreator menjual karyanya.Â
Lantas, apakah cara tersebut bisa mengurangi kemiskinan? Tentu saja tidak. Masalah kemiskinan begitu kompleks. Pemerataan kebijakan pemerintah, pendidikan, infrastruktur, dan faktor lain adalah masalah yang harus diselesaikan.Â
Jadi, konten yang menjual kemiskinan akan terus ada selama pasar dan kemiskinan belum hilang di dunia. Saya pribadi kurang suka dengan konten seperti itu. Begitu juga dengan kompasiana, platform ini adalah agora.
Kita para kompasianer mempunyai strategi masing-masing untuk menjual konten kita. Tentu saja ada pasarnya masing-masing. Jadi, tinggal diri kita lah yang harus pandai memainkan strategi agar orang-orang di sana mau membaca konten kita.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H