Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Pasangan Nikah Siri Boleh Membuat KK, Benarkah Sebuah Solusi?

9 Oktober 2021   12:33 Diperbarui: 12 Oktober 2021   08:19 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perkawinan.| Sumber: PEXELS/TRUNG NGUYEN via: KOMPAS.com

Nikah siri menjadi perbincangan hangat belakangan ini. Pasangan selebriti Lesti dan Rizky Billar mengakui bahwa mereka telah nikah siri. Perihal itu, keduanya justru dilaporkan oleh beberapa pihak. 

Saya merasa bingung dengan laporan itu, musababnya karena laporan itu tidak masuk di logika saya. Pasangan nikah siri berujung laporan polisi dengan tudingan pembohongan publik. 

Tapi, saya tidak akan membahas hal itu, berkat kasus itulah nikah siri kembali menjadi perbincangan hangat. Ada satu hal yang menarik perhatian saya, saat ini pasangan nikah siri bisa membuat Kartu Keluarga. 

Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan setiap penduduk Indonesia wajib terdata dalam KK. Oleh karena itu, Dukcapil Kemendagri memberi pelayanan bagi semua warga.

Semua penduduk Indonesia wajib terdata di dalam Kartu Keluarga. Bagi yang nikah siri, bisa dimasukkan dalam satu KK. Kata Zudan dalam keterangan video, Kamis (CNN Indonesia)

Zudan mengatakan, untuk mendapatkan KK pasangan nikah siri cukup membawa surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM) kebenaran pasangan suami istri diketahui dua orang saksi.

Keputusan tersebut menuai pro kontra di masyarakat. MUI mengatakan bahwa keputusan tersebut merupakan sebuah solusi. Di sisi lain Komnas Perempuan menyebut keputusan itu tidak memerhatikan aspek perlindungan bagi perempuan.

Perihal Nikah Siri

Beberapa masyarakat menyebut bahwa nikah siri adalah nikah secara agama. Di sisi lain, lawan dari nikah siri adalah nikah secara negara. Padahal, kedua terminologi itu tidak saya temukan dalam aturan yang berlaku. 

Jika saya tidak keliru, siri berasal dari bahasa Arab yang berarti sembunyi atau diam-diam. Nikah siri memunculkan dua arti, pertama nikah siri dilakukan tanpa diketahui oleh umum dan tidak dicatat secara resmi oleh negara.

Pemahaman kedua adalah nikah siri dilakukan di bawah tangan. Dengan kata lain dianggap tidak resmi karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lalu, apakah nikah siri itu sah? 

Pernikahan pada dasarnya bukan hanya perbuatan yang bisa menimbulkan akibat hukum. Tetapi merupakan perbuatan keagamaan, jadi sah atau tidaknya perkawinan ditentukan menurut hukum agamanya masing-masing. 

Ketentuan itu bisa kita lihat dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Dengan demikian suatu perkawinan sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun agama masing-masing. Jadi, secara hukum agama nikah siri adalah sah jika mengacu pada pasal di atas.

Tetapi, nikah siri sendiri tidak memiliki legalitas di mata hukum negara. Hal itu karena tidak dicatat di kantor pencatatan sipil sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan. 

Dengan kata lain, keabsahan pernikahan itu menjadi pertanyaan. Hal itu karena tidak dibuktikan dengan akta nikah. Akta perkawinan merupakan bukti bahwa seseorang telah melakukan perkawinan. 

Nikah siri memang sah di mata agama. Tetapi, tidak memiliki kekuatan hukum dan karenanya dianggap tidak pernah ada dalam catatan negara. Dengan kata lain, perkawinan siri tidak diakui oleh negara.

Akibat tidak ada legalitas hukum, maka nikah siri mempunyai konsekuensi. Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, anak yang lahir dari perkawinan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin.

Akibatnya anak tersebut hanya memiliki hubungan dengan ibunya saja. Selain itu, dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI) sang anak tidak berhak mewaris dari sang ayah karena hanya memiliki hubungan dengan ibunya. 

Kerugian dari nikah siri tidak hanya bagi anak, khususnya bagi perempuan itu sendiri. Kita tidak menutup mata dalam kasus nikah siri, si perempuan sering kali tidak mendapatkan nafkah dari suaminya. 

Tidak adanya legitimasi hukum dari negara membuat istri dan anak sulit untuk menuntut haknya pada si suami. Hal itu karena bukti perkawinan itu sendiri tidak ada. 

Jadi tidak heran jika kebanyakan kasus nikah siri mempunyai masalah di atas. Nikah siri juga sering kali dipakai alat untuk poligami, sementara itu karena tidak ada legalitas di mata hukum negara biasanya si suami akan terus melakukan hal serupa. 

Jadi, nikah siri memang merugikan khususnya bagi anak dan perempuan. Beberapa dokumen kenegaraan juga sulit didapat seperti membuat akta kelahiran atau kartu keluarga. 

Persoalan yang timbul dalam masalah ini adalah dalam syarat pengajuan KK. Syarat tersebut hanya sebuah surat penyataan saja. Itu artinya, meskipun sudah tercatat dan terdata, tetap saja bukti perkawinan itu tidak ada. 

Hal itu karena akta perkawinan itu sendiri tidak ada. Lain lagi jika syarat tersebut harus dilengkapi dengan akta perkawinan. Jika hanya surat pernyataan saja bukan tidak mungkin akibat yang dijelaskan di atas masih berlaku. 

Seharusnya untuk mendapatkan dokumen kependudukan itu pernikahan siri tersebut harus diakui terlebih dahulu. Caranya dengan melakukan pernikahan secara resmi. Dengan begitu, kerugian yang diderita oleh perempuan dan anak bisa dikurangi. 

Problem nikah siri memang kompleks, nikah siri juga sering digunakan oleh oknum untuk melakukan poligami. Hal itu karena kurangnya dalam menafsirkan Pasal 2 UU di atas.

Jika ingin poligami UU Perkawinan sendiri telah memberi celah dengan syarat berat. Misalnya ada izin dari istri atau istri lain dan pengadilan. Hanya saja syarat itu tidak dilakukan. 

Orang lain memilih jalan pintas yang tidak ribet untuk poligami yaitu nikah siri. Di sisi lain, untuk para perempuan juga harus pintar agar tidak tergoda dinikahi secara siri. 

Dampak dari nikah siri itu sudah jelas merugikan khususnya bagi perempuan. Sudah sepantasnya perempuan harus tahu bahwa posisinya istimewa dan tidak pantas dilakukan seperti itu. 

Jadi, menurut hemat saya tidak tepat jika pemberian KK bagi pelaku nikah siri ini menjadi solusi bagi kasus yang sudah diuraikan di atas. Hal itu karena syarat dari membuat KK itu hanya sebuah surat pernyataan. 

Posisi surat pernyataan itu bagi saya kurang kuat, beda halnya dengan akta nikah. Dalam akta nikah, kedua pasangan sudah mempunyai ikatan hukum kuat sehingga tanggung jawab suami dan istri bisa lebih jelas. 

Usulan ini bagi saya hanya akan membuat nikah siri semakin marak karena kemudahan membuat KK. Tapi, sekali lagi legalitas pernikahan yang dibuktikan melalui akta itu yang perlu kita perbaiki. 

Jika pernikahan itu sudah diakui secara sah dan resmi, maka hak perempuan dan anak yang dirugikan bisa diminimalisir karena si suami sudah terikat dengan hukum yang jelas. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun