Pemahaman kedua adalah nikah siri dilakukan di bawah tangan. Dengan kata lain dianggap tidak resmi karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lalu, apakah nikah siri itu sah?Â
Pernikahan pada dasarnya bukan hanya perbuatan yang bisa menimbulkan akibat hukum. Tetapi merupakan perbuatan keagamaan, jadi sah atau tidaknya perkawinan ditentukan menurut hukum agamanya masing-masing.Â
Ketentuan itu bisa kita lihat dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Dengan demikian suatu perkawinan sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun agama masing-masing. Jadi, secara hukum agama nikah siri adalah sah jika mengacu pada pasal di atas.
Tetapi, nikah siri sendiri tidak memiliki legalitas di mata hukum negara. Hal itu karena tidak dicatat di kantor pencatatan sipil sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan.Â
Dengan kata lain, keabsahan pernikahan itu menjadi pertanyaan. Hal itu karena tidak dibuktikan dengan akta nikah. Akta perkawinan merupakan bukti bahwa seseorang telah melakukan perkawinan.Â
Nikah siri memang sah di mata agama. Tetapi, tidak memiliki kekuatan hukum dan karenanya dianggap tidak pernah ada dalam catatan negara. Dengan kata lain, perkawinan siri tidak diakui oleh negara.
Akibat tidak ada legalitas hukum, maka nikah siri mempunyai konsekuensi. Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, anak yang lahir dari perkawinan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin.
Akibatnya anak tersebut hanya memiliki hubungan dengan ibunya saja. Selain itu, dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI) sang anak tidak berhak mewaris dari sang ayah karena hanya memiliki hubungan dengan ibunya.Â
Kerugian dari nikah siri tidak hanya bagi anak, khususnya bagi perempuan itu sendiri. Kita tidak menutup mata dalam kasus nikah siri, si perempuan sering kali tidak mendapatkan nafkah dari suaminya.Â