Itulah ukuran keluarga bahagia yang ada di masyarakat kita. Karena hal itu sudah lazim, maka mempunyai anak merupakan kodrat bagi perempuan.Â
Terlebih lagi, dalam pandangan agama anak yang lahir pasti sudah diatur dengan rezekinya. Lebih jauh, dalam beberapa masyarakat kita, anak merupakan penerus keluarga.
Misalnya untuk anak laki-laki dalam masyarakat patrilineal, anak laki-laki merupakan penerus marga. Kehadiran childfree jelas bertentangan dengan itu semua.
Lalu, bagaimana jika melihat dari kacamata HAM. Apakah melahirkan dan mempunyai anak merupakan kodrat perempuan? Berbicara HAM memang sangat mengedepankan aspek individu.
Di negara-negara yang menjunjung tinggi HAM, kedudukan individu begitu dihormati. Jelas saja kodrat yang dimaksud di atas tidak bisa diterima oleh penganut childfree.
Tubuh seseorang, terutama wanita seakan dipaksa oleh keadaan masyarakat tentang konsep keluarga ideal. Padahal, tubuh itu otoritasku, begitu kiranya.
Akulah yang mempunyai kuasa penuh dengan tubuhku ini. Akulah yang tahu betul tentang seluk beluk tubuhku. Jadi standar keluarga bahagia yang ditetapkan secara abstrak tersebut belum tentu bisa diterima semua orang.
Terkadang, seseorang yang sebenarnya ingin menunda untuk punya anak menjadi terpaksa mempunyai anak. Hal tersebut karena beberapa alasan, terutama tekanan dari lingkungan.
Memang terkesan liberal, tapi itulah HAM. Meskipun HAM menitikberatkan kedudukan individu, tetapi dalam UU No. 39 Tahun 1999 HAM sendiri dibatasi. Artinya tidak sepenuhnya bebas.
Lalu, apakah memilih untuk tidak mempunyai anak salah? Bagi saya tidak, tidak ada yang salah dengan mereka yang menganut childfree.
Keputusan untuk memilih childfree adalah hak masing-masing. Pasal yang saya singgung di atas sudah cukup untuk menjelaskannya.