Childfree jelas merupakan tamparan bagi dunia parenting. Parenting berbicara bagaimana mendidik anak menjadi lebih baik dan mempersiapkan masa depan anak sebaik mungkin.Â
Maka, childfree  kontradiksi dengan itu. Menjadi orangtua memang bukan hal yang mudah. Apalagi pola asuh yang diterapkan sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak.Â
Oleh sebab itu, pilihan pola asuh anak juga harus tepat. Para penganut childfree sendiri menganggap bahwa menjadi orangtua mempunyai tanggung jawab yang besar.Â
Memiliki anak butuh pertimbangan matang terlebih lagi untuk masa depan anak nanti. Memilih untuk tidak mempunyai anak menjadi pilihan ideal karena ketakukan tadi.Â
Tentu hal ini begitu kontra, karena sebagian dari kita anak adalah investasi dan selalu ada rezeki yang menyertainya. Tetapi, prinsip itu tidak berlaku bagi penganut childfree. Â
Childfree dari sudut pandang HAM
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (Pasal 28B UUD 1945)
Keputusan memilih childfree memang harus dipertimbangkan dengan matang. Selain dengan pasangan, tentunya harus mempertimbangkan pandangan keluarga.
Selain itu, childfree sendiri terdengar asing di Indonesia. Hal itu karena budaya kita yang kolektif. Seseorang yang sudah cukup umur untuk menikah pasti akan menjadi pergunjingan satu kampung.
Pertanyaan kapan menikah pasti datang silih berganti. Ketika sudah menikah, pertanyaan lainpun muncul, yaitu kapan mempunyai anak. Budaya itulah yang membuat childfree sulit diterima.
Selain itu, keadaan sosial kita telah menciptakan nilai abstrak terkait keluarga bahagia. Keluarga bahagia tidak hanya melangsungkan perkawinan saja. Tetapi dikaruniai seorang anak.