Etika menyampaikan pendapatÂ
Memang betul dalam menyampaikan pendapat harus dibarengi dengan etika, moral, hingga sesuai koridor hukum yang berlaku. Lantas apakah mural ini tidak sesuai dengan yang disebutkan di atas?Â
Mungkin saja iya, misalnya berbenturan dengan perda. Tetapi, kita juga harus melihat dari sisi lain. Mengapa mural bermunculan akhir-akhir ini. Hal tersebut bisa dinilai karena semakin minimnya media penyampaian aspirasi.Â
Menyampaikan kritik melalui media sosial masih ada hantu menakutkan, yaitu UU ITE. Jika ingin menyampaikan aspirasi secara langsung ke jalan, berbenturan dengan prokes.Â
Akhirnya mural menjadi media untuk menyampaikan aspirasi tersebut. Diakui atau tidak, bagi saya itu adalah karya seni. Jika setiap karya semacam itu dibungkam, bagi saya pengkerdilan dalam berkreasi.Â
Jika sudah tidak ada media lagi, dengan jalan apa harus mengkritik. Bisa jadi untuk berpikir pun dibatasi. Jika itu terjadi, maka bisa dikatakan pemerintah tidak adil sudah sejak dalam pikiran.Â
Bagi saya, hal ini merupakan potret buram dari kebebasan berpendapat. Padahal momen tersebut hampir berbarengan dengan hari kemerdekaan Indonesia.Â
Meskipun sudah merdeka, nyatanya ada aspek yang belum merdeka, ya salah satunya kemerdekaan menyampaikan pendapat. Belum lagi jika bicara merdeka secara ekonomi akibat pandemi, atau merdeka dari pandemi itu sendiri.Â
Mungkin, mural tersebut dihapus karena salah tata bahasa. Contohnya untuk mural "Tuhan aku lapar." Seharusnya jangan menggunakan kata tuhan, janganlah mengeluh pada Tuhan apalagi untuk urusan perut.Â
Pada dasarnya Tuhan telah memberikan rezeki pada kita bahkan sejak dalam kandungan rezeki kita sudah diatur. Jika rezeki itu macet, ya jangan mengeluh pada Tuhan.Â
Lebih baik kata Tuhan itu diganti dengan nama pejabat, atau kalo mau lebih jamak dengan kata pemerintah. Aih itu sama saja menyalahkan pemerintah karena telah membuat macet rezeki orang.Â