Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mural dan Potret Buramnya Kebebasan Berpendapat

17 Agustus 2021   09:48 Diperbarui: 19 Agustus 2021   08:20 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu mural yang diduga bergambar Presiden Joko Widodo di Tangerang. Via kompas.com

Setiap orang mempunyai cara masing-masing untuk menyampaikan kritik pada pemerintah. Cara tersebut begitu beragam tergantung latar belakang orang yang ingin menyampaikannya.

Jika orang tersebut sastrawan, bisa saja kritik tersebut menjelma menjadi satu karya puisi. Sebut saja puisi karya W.S Rendra yang berjudul "pesan pencopet pada pacarnya."

Jika orang tersebut adalah musisi, maka kritik-kritik mengalir begitu deras dari setiap lirik lagu. Iwan Fals salah satu contohnya. Lagu Iwan Fals merupakan potret sosial yang hingga kini masih relevan. 

Jika orang tersebut mempunyai jiwa seni yang tinggi, mural merupakan salah satu cara sang seniman menyampaikan kritik. Menjelang menyambut hari kemerdekaan RI, beberapa mural bermunculan akhir-akhir ini. 

Mural tersebut tiada lain adalah suatu bentuk keresahan masyarakat saat ini, terutama efek pandemi covid-19 yang tidak juga usai. Keresahan tersebut kemudian dicurahkan dalam bentuk seni. 

Misalnya mural yang berisikan "dipaksa sehat di negera sakit." Jelas itu merupakan suatu kritik. Sakit di sini bukan berarti sakit secara medis, bisa jadi karena kebijakan pemerintah yang sakit dalam menangani pandemi. 

Ada juga mural yang bertuliskan "Tuhan aku lapar." Itu merupakan jeritan, keluh kesah masyarakat yang dipaksa bertahan hidup di tengah PPKM yang dicicil seperti bayar setoran. 

Ada juga mural yang bertuliskan "404 not found." Bagi yang sering berselancar di dunia internet, tulisan tersebut jelas tidak asing dan pasti tahu maksudnya. 

Hal tersebut bisa terjadi karena error, entah itu jaringan internet yang salah atau "server" yang rusak. Di belakang tulisan tersebut terselip satu potret yang diduga pemimpin negara ini. 

Tiga mural tersebut mempunyai nasib yang sama. Mural tersebut dihapus oleh aparat setempat. Bahkan, menurut beberapa sumber berita, si pembuat mural bertuliskan 404 not found justru tengah diburu polisi. 

Tindakan yang represif 

Entah alasan apa yang membuat mural-mural tersebut dihapus. Bisa saja ini dilatar belakangi oleh peraturan daerah di wilayah bersangkutan. 

Mungkin juga kita bisa berasumsi, salah satu mural tersebut merendahkan presiden. Tapi, bagi saya tidak tepat. Apalagi jika dimasukan pada penghinaan, karena jelas itu delik aduan. Toh Pak Jokowi juga adem-adem aja. 

Jika alasan itu karena dianggap merendahkan simbol negara, jelas keliru. Presiden bukan simbol negara, simbol negara ialah Pancasila. Hal itu sudah diatur jelas dalam UU No. 24 tahun 2009.

Tindakan tersebut bagi saya berlebihan. Meskipun katakanlah ada satu perda yang dilanggar, seharusnya aparat penegak hukum harus melakukan pendekatan yang lebih humanis. 

Pendekatan yang humanis lebih bisa diterima oleh masyarakat. Beda halnya dengan pendekatan represif, tidak heran jika sebagian kalangan menilai hal itu sebagai bentuk kepanikan pemerintah. 

Tindakan tersebut juga seakan-akan membuat pemerintah menjadi antikritik. Padahal Pak Jokowi sendiri yang meminta kritik pedas dari masyarakat. 

Banyak juga yang menganggap bahwa mural dianggap sebagai vandalisme. Padahal bagi saya berbeda. Vandalisme jelas tindakan yang dilarang. 

Vandalisme sendiri perbuatan yang merusak atau mengotori khususnya fasilitas umum. Tidak ada pesan apapun di balik vandalisme. 

Sedangkan mural tidak demikian, dalam mural setidaknya ada satu pesan yang disampaikan di dalamnya. Setidaknya itu menurut hemat saya. 

Padahal di negara lain, mural merupakan hal yang biasa. Bahkan menjadi media para seniman untuk menyampaikan kritik pada pemerintah. 

Etika menyampaikan pendapat 

Memang betul dalam menyampaikan pendapat harus dibarengi dengan etika, moral, hingga sesuai koridor hukum yang berlaku. Lantas apakah mural ini tidak sesuai dengan yang disebutkan di atas? 

Mungkin saja iya, misalnya berbenturan dengan perda. Tetapi, kita juga harus melihat dari sisi lain. Mengapa mural bermunculan akhir-akhir ini. Hal tersebut bisa dinilai karena semakin minimnya media penyampaian aspirasi. 

Menyampaikan kritik melalui media sosial masih ada hantu menakutkan, yaitu UU ITE. Jika ingin menyampaikan aspirasi secara langsung ke jalan, berbenturan dengan prokes. 

Akhirnya mural menjadi media untuk menyampaikan aspirasi tersebut. Diakui atau tidak, bagi saya itu adalah karya seni. Jika setiap karya semacam itu dibungkam, bagi saya pengkerdilan dalam berkreasi. 

Jika sudah tidak ada media lagi, dengan jalan apa harus mengkritik. Bisa jadi untuk berpikir pun dibatasi. Jika itu terjadi, maka bisa dikatakan pemerintah tidak adil sudah sejak dalam pikiran. 

Bagi saya, hal ini merupakan potret buram dari kebebasan berpendapat. Padahal momen tersebut hampir berbarengan dengan hari kemerdekaan Indonesia. 

Meskipun sudah merdeka, nyatanya ada aspek yang belum merdeka, ya salah satunya kemerdekaan menyampaikan pendapat. Belum lagi jika bicara merdeka secara ekonomi akibat pandemi, atau merdeka dari pandemi itu sendiri. 

Mungkin, mural tersebut dihapus karena salah tata bahasa. Contohnya untuk mural "Tuhan aku lapar." Seharusnya jangan menggunakan kata tuhan, janganlah mengeluh pada Tuhan apalagi untuk urusan perut. 

Pada dasarnya Tuhan telah memberikan rezeki pada kita bahkan sejak dalam kandungan rezeki kita sudah diatur. Jika rezeki itu macet, ya jangan mengeluh pada Tuhan. 

Lebih baik kata Tuhan itu diganti dengan nama pejabat, atau kalo mau lebih jamak dengan kata pemerintah. Aih itu sama saja menyalahkan pemerintah karena telah membuat macet rezeki orang. 

Tapi sebaiknya jangan diikuti, jika itu dilakukan bisa disebut nyinyir. Atau ganti saja dengan kata covid. Ini makin bingung lagi, ngeluh sama virus. 

Untuk mural 404 not found dan dipaksa sehat di negara sakit sebaiknya jangan berbentuk mural. Ada cara legal meskipun mahal, tapi ini demi satu koridor dengan hukum, yaitu dengan membuat baliho. 

Wah ini pasti keren, apalagi baliho tersebut disandingkan dengan baliho politisi yang sedang ramai. Misalnya ada politisi yang mempromosikan "patuhi protokol kesehatan, patuhi 5m." 

Si politisi biasanya memakai masker, entah itu lukisan atau masker asli. Nah, disampingnya isi dengan baliho, "dipaksa sehat di negara yang sakit." Kan jadinya keren. 

Atau jika ada politisi yang memasang baliho dengan jargon, "mengabdi pada rakyat." Sandingkan dengan baliho, "pemerintah, atau covid, atau PPKM rakyat lapar."

Nah mungkin itu saja untuk ulasan pada topik ini. Artikel ini juga merupakan salah satu media untuk menyampaikan aspirasi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun