Jika Anda pergi ke Bandung, tidak jauh dari Balai Kota, terdapat satu bangunan yang mengandung nilai sejarah. Gedung tersebut dulunya merupakan Landraad, atau pengadilan pada masa kolonialisme Belanda.
Bapak pendiri bangsa Indonesia yaitu Soekarno pernah diadili di gedung tersebut. Ketika kuliah di Bandung, Bung Karno fokus pada perjuangannya demi Indonesia meraih cita-cita kemerdekaan.
Di Bandung pula, Soekarno menemukan satu gagasan yang disebut dengan marhaenisme. Marhaen terinspirasi dari petani asal Sunda yang bernama Kang Aen.
Rakyat Marhaen adalah mereka yang bekerja untuk dirinya sendiri. Hasil dari pekerjaan tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok saja. Alat produksi memang punya sendiri, tetapi tidak sanggup jika harus membayar upah pada orang lain.
Marhaen sendiri merupakan paham sosialisme yang disesuaikan dengan kultur Indonesia. Di Bandung pula, Soekarno mendirikan partai politik yang menjadi kendaraan berjuangnya yaitu PNI.
Berasama denga PNI, Bung Karno sering melakukan rapat guna merancang strategi melawan kolonialisme. Tidak ada yang menyangkal dengan kepiawaian Bung Karno saat pidato.
Tidak heran jika Bung Karno disebut dengan singa podium. Ketika Bung Karno berpidato, semuanya khusyuk mendengar dan membuat jiwa nasionalisme terbakar.
Kemampuan tersebut mampu mengumpulkan beribu-ribu orang dalam satu lapangan. Namun, bagi pihak Belanda sendiri, Soekarno merupakan ancaman. Maka tidak heran gerak geriknya selalu diawasi.
Setiap kali Soekarno berpidato, pastilah ada beberapa polisi yang mengawasinya. Para polisi tersebut dengan teliti mencatat pidato Bung Karno. Diceritakan, ketika itu Bung Karno hendak pulang dan naik sepeda, tetapi dibuntuti oleh polisi.
Menurut Bung Karno, ini adalah hiburan baginya. Bung Karno lantas membawa polisi tersebut ke jalan sempit di sawah. Sang polisi tersebut tidak bisa meninggalkan sepeda tanpa ada yang menjaganya.
Otomatis, polisi tersebut memanggul sepedanya dan berjalan kekusasahan di jalan kecil tersebut. Karena gerak-gerik Bung Karno selalu diawasi, akhirnya Bung Karno memilih rumah pelacuran guna menyamarkan rapat.
Tidak ada cara lain karena ruang gerak dipersempit. Tempat pelacuran dipilih bukan tanpa alasan, Bung Karno juga memanfaatkan para pelacur tersebut sebagai mata-mata. Para pelacur tersebut mengorek semua informasi para polisi kemudian disampaikan kepada Bung Karno.
Selain gerak-gerik yang diawasi, para pejuang kita juga ditodong dengan ancaman hukum pidana. Bagi siapa saja yang dianggap menyebarkan rasa permusuhan atau kebencian baik tertulis maupun secara tidak.Â
Baik berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan untuk menghasut pemberontakan terhadap pemerintah Belanda, maka bisa dikenakan hukuman 7 tahun penjara.
Ancaman tersebut jelas merugikan, bagaimana tidak. Para pejuang kita sejatinya menuntut kemerdekaan, tetapi Belanda dengan licik membentenginya dengan hukum. Aturan tersebut sejatinya hanya pembungkaman kebebasan semata, sangat berbau kolinialisme.
Aturan tersebut dipakai guna mempertahankan kolonialisme Belanda.
Penjara atau tempat pembuangan bukan hal baru bagi para pejuang kemerdekaan. Itu sudah menjadi risiko yang harus dihadapi baik secara fisik maupun mental.
Bung Karno akhirnya ditangkap di Solo. Jelas dasar penangkapan ini adalah aturan kolonialisme di atas. Bung Karno akhirnya ditahan di Bandung tepatnya di Lapas Banceuy.
Selain Bung Karno, tiga rekannya dari PNI yaitu Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata juga ikut ditahan. Banceuy bukanlah lapas mewah, Banceuy sendiri berada di tengah Kota Bandung.
Banceuy terdiri dari dua macam sel, sel untuk tahanan biasa dan untuk tahanan politik. Untuk tahanan biasa, sel tersebut tidak ada alas apapun kecuali tikar. Berbeda dengan sel untuk tahanan politik, masih disediakan sebuah Kasur.
Sel yang ditempati oleh Bung Karno tersebut sampai saat ini masih terawat. Bahkan, beberapa organisasi seperti GMNI yang memang Soekarnois sering mengadakan rapat atau seminar di halaman lapas Banceuy.
Hari pengadilan tiba. Bung Karno beserta tiga rekannya akan segera diadili. Sebelum persidangan dimulai, Bung Karno terlebih dahulu mempersiapkan pidato pembelaannya, mungkin untuk saat ini disebut dengan pledoi.
Pidato tersebut ditulis di atas sebuah kaleng tempat buang air. Pidato tersebut menjabarkan secara garis besar betapa bahayanya imperialisme dan kolonialisme. Kelak, pidato yang ditulis di atas kaleng tempat buang air tersebut menjadi sebuah dokumen politik yang bersejarah bagi bangsa Indonesia.
Judul pidato pembelaan Bung Karno tersebut adalah Indonesia Menggugat. Dalam isi pidato tersebut, Bung Karno berbicara tentang imperialisme tua dan modern.
Kemudian Bung Karno menjabarkan imperialisme yang terjadi di Indonesia. Bung Karno juga menjabarkan bagaimana kejamnya bangsa Belanda terhadap Indonesia.Â
Pengadilan menuduh kami telah merencanakan kejahatan. Kenapa? Dengan apa kami melakukan kejahatan tuan-tuan hakim yang terhormat? Dengan pedang? Bedil? Bom? Senjata kami adalah rencana.
Rencana untuk mendapatkan persamaan dalam hal pajak, sehingga masyarakat Marhaen yang mempunyai penghasilan minimum 60 rupiah setahun tidak dibebani pajak yang sama dengan orang kulit putih yang mempunyai penghasilan minimum 9000 rupiah.
Target kami adalah menghapuskan hak-hak luar biasa dari Gubernur Jenderal, yang tidak lain adalah terror yang dilegalkan. Satu-satunya dinamit yang pernah kami pasang adalah jeritan dari derita kami. (Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat)Â
Pidato pembelaan Bung Karno tersebut menjadi perhatian dunia internasional. Banyak surat kabar kala itu menuliskan berita tentang pembelaan Bung Karno. Dunia internasional tahu betapa bejatnya kolinialisme yang terjadi di Indonesia.
Meskipun mendapatkan perhatian dari dunia internasional, Bung Karno dan ketiga koleganya tetap dijebloskan ke penjara. Bung Karno dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan pindah ke Lapas Sukamiskin.Â
Kini, gedung tempat pembelaan Soekarno tersebut masih terawat dan menjadi saksi bisu sampai detik ini. Gedung yang tadinya merupakan Landraad tersebut kini dirubah namanya menjadi  Gedung Indonesia Menggugat.
Hal tersebut untuk mengenang, bahwa pada saat itu Indonesia dengan lantang melawan segala bentuk imperialisme dan kolonialisme. Nama Indonesia Menggugat kini abadi, sama seperti gedung tersebut.
Gedung Indonesia Menggugat sempat beralih fungsi, pada tahun 1950-1973 menjadi gedung keuangan. Pada tahun 1973-1999 digunakan sebagai Kantor Dinas Perdagangan dan Perindustrian Jawa Barat.
Pada saat ini, Gedung Indonesia Menggugat dibuka untuk umum dan menjadi cagar budaya kelas A. Penulis pernah sekali singgah di gedung ini saat menjadi panitia kongres kampus.
Beberapa organisasi kemahasiswaan sering menggunakan Gedung Indonesia Menggugat sebagai tempat rapat atau kongres.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H