Pasal penghinaan presiden masuk dalam delik aduan
Jika melihat uraian singkat di atas, maka sudah dipastikan bahwa pasal penghinaan presiden merupakan delik aduan. Hal itu dengan tegas dicantumkan dalam Pasal 220 ayat 2.
Dalam hal ini, kepolisian tidak dapat memproses ke jalur hukum apabila Presiden atau Wakil Presiden tidak melapor.
Pasal penghinaan presiden ini berbeda dengan pasal yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Delik dalam pasal tersebut adalah delik umum, jadi siapa saja tanpa persetujuan korban pihak penegak hukum dapat memproses ke jalur hukum.
Adanya pergeseran dari delik biasa ke delik umum adalah untuk menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan pasal ini. Jika pasal ini masuk dalam delik biasa, maka tidak menutup kemungkinan akan seperti pasal karet yang ada di UU ITE.
Presidennya minta dikritik, tapi pendukungnya yang kebakaran jenggot. Selain itu, jika ingin benar-benar agar pasal ini tidak karet delik aduan dalam pasal ini harus menjadi delik aduan absolut.
Itu artinya, proses hukum harus benar-benar terjadi apabila Presiden atau Wakil Presiden yang melapor sendiri, tidak diwakilkan oleh pihak manapun.Â
Substansi dalam pasal ini juga harus jelas, tidak boleh menimbulkan penafsiran abu-abu, terutama untuk mendefinisikan menghina atau merendahkan martabat.
Oleh sebab itu, penafsiran dari menghina itu sendiri sepenuhnya dikembalikan kepada korban dalam hal ini Presiden atau Wakil Presiden.
Jika itu dalam koridor yang benar, maka menurut hemat saya pasal ini tidak akan menjadi pasal karet. Lantas apakah dengan berubahnya dari delik biasa menjadi delik aduan menjadikan pemerintah antikritik?
Pada prinsipnya, setiap orang berhak menjaga martabatnya masing-masing. Bagi saya pasal ini tidak menjadikan pemerintah antikritik, selama masih dalam prinip hukum yang benar. Berubahnya menjadi delik aduan adalah salah satu cara agar terhindar dari stereotip pasal karet dan antikritik.