Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Disharmoni Undang-Undang Mengenai Kurikulum Wajib Pendidikan Pancasila

2 Juni 2021   09:34 Diperbarui: 2 Juni 2021   10:00 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pancasila bukan hanya sekedar ideologi semata, Pancasila adalah cara hidup atau pedoman bangsa Indonesia. kehidupan yang kita jalankan harus mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila, itulah yang disebut dengan pancasilais sejati, tidak hanya tercermin dalam lisan akan tetapi dalam perbuatan.

Pancasila harus menjadi aspek dalam semua tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Di dalam peraturan perundang-undangan, pacasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. 

Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara mengharuskan setiap materi peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Pancasila harus tertanam dengan baik pada masyarakat Indonesia. Sarana untuk menumbuhkan rasa pancasilais adalah dengan pendidikan. Lewat pendidikan diharapkan bisa memberikan pemahaman lebih tentang nilai-nilai luhur Pancasila.

Oleh sebab itu, Pancasila seharusnya menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap jenjang pendidikan. Beberapa regulasi tentang pendidikan justru tidak selaras mengenai pendidikan Pancasila. Hal itu menjadikan pendidikan wajib Pancasila bias, ada atau tiadak.

Disharmoni Undang-Undang

Untuk pendidikan sendiri, undang-undang yang dapat menjadi acuan adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Selain undang-undang tersebut, ada juga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Kedua undang-undang tersebut menjadi instrument dalam jenjang pendidikan di Indonesia. Di dalam undang-undang tersebut diatur mengenai mata pelajaran wajib yang harus diikuti oleh pelajar dan mahasiswa. 

Namun, jika kita cermati lebih teliti, justru ada ketidakselarasan antara Undang-Undang Sisdiknas dan Undang-Undang Dikti terutama untuk kurikulum wajib bagi pendidikan tinggi.

Di dalam Undang-Undang Sisdiknas, untuk kurikulum perguruan tinggi diatur dalam Pasal 37 menyatakan bahwa pendidikan tinggi setidaknya wajib memuat, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa.

Hal ini berbeda sekali dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, dalam Pasal 35 jelas menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah agama, Pancasila, kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia.

Tentu ada perbedaan dari situ, dalam Undang-Undang Sisdiknas jelas tidak masuk pendidikan pancasila di dalam kurikulum wajib, sedangkan di dalam Undang-Undang Dikti, Pancasila justru menjadi mata kuliah wajib.

Selain itu, dalam Undang-Undangg Dikti terkait bahasa lebih dirinci lagi menjadi bahasa Indonesia. Impelemantasi dari kedua pasal tersebut di delegasikan kepada Peraturan Pemerintah.

Maka keluarlah PP Nomor 57 Tahun 2021 menggantikan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional ( PP SNP lama).

Jika kta lihat kembali PP Nomor 57 Tahun 2021, kurikulum pendidikan hanya mengacu pada undang-undang sisdiknas saja. Hal itu bisa dilihat dari kurikulum wajib yang diatur untuk berbagai jenjang, khususnya untuk pendidikan tinggi.

Kurikulum wajib untuk pendidikan tinggi dalam PP tersebut sama dengan Pasal 37 dalam Undang-Undang Sisdiknas. Sebagian kalangan menilai PP tersebut telah menghapus mata kuliah wajib pendidikan Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam pendidikan tinggi.

Padahal di dalam dasar hukum (bagian mengingat) PP tersebut dicantumkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Nyatanya Undang-Undang Dikti tidak terakomodir di dalam PP ini.

Pangkal tidak adanya Pancasila dalam PP tersebut adalah karena perbedaan substansi antara Undang-Undang Sisdiknas dan Undang-Undang Pendidikan Tinggi. 

Seharusnya kedua undang-undang tersebut sinkron. Akibatnya aturan turunannya bertentangan dengan aturan di atasnya yaitu undang-undang. Padahal dalam hierarkis peraturan perundang-undangan, kedudukan PP berada di bawah undang-undang.

Oleh sebab itu, substansi yang diatur tidak boleh saling bertentangan dengan aturan di atasnya. Seharusnya ada undang-undang yang menjadi induk bagi semua jenjang pendidikan, entah itu pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.

Undang-Undang Sisdiknas bisa dijadikan sebagai induk bagi semua regulasi pendidikan di Indonesia. Satu undang-undang tapi mengakomodir semua regulasi, untuk itu perlu adanya revisi dalam berbagai regulasi dalam bidang pendidikan.

Pendidikan Pancasila atau Pendidikan Kewarganegaraan

Jika untuk pendidikan tinggi, khususnya dalam Undang-Undang Dikti disebut dengan tegas tentang mata kuliah wajib pendidikan Pancasila. Berbeda halnya untuk jenjang pendidikan dasar dari SD sampai dengan SMA yang diatur dalam Undang-Undang Sisdiknas.

Di dalam Undang-Undang Sisdiknas tidak disebutkan sama sekali tentang pendidikan Pancasila dalam kurikukulum pendidikan dasar. Kedudukan Pancasila berubah dan digantikan oleh Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). 

Sebagaian kalangan menyebut hal tersebut sebagai perluasan dari pendidikan Pancasila. Di dalam Undang-Undang Dikti, kedua mata kuliah tersebut dipisah dan berdiri sendiri.

Lalu timbul pertanyaan, sebaiknya pendidikan Pancasila menjadi bagian dari PKn atau menjadi mata pelajaran yang terpisah dari Pkn?

Pancasila merupakan buah hasil pemikiran luhur para pendiri bangsa. Oleh karenanya, secara historis pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai yang hidup di masyarakat kita.

Oleh sebab itu, perlu kiranya setiap generasi kita mengetahui historis dari lahirnya pancasila. Selain itu, secara kultural nilai-nilai yang diagungkan dalam masyarakat tersebut sudah disepakati secara nasional. 

Unsur-unsur nasional seperti suku, ras, agama, adat istiadat, dan bahasa merupakan bagian dari Indonesia yang diikat dalam satu kesatuan Bhineke Tunggal Ika. Unsur-unsur tersebut merupakan identitas bangsa kita yang harus dikenal oleh setiap generasi kita. 

Sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan melingkupi Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan nasionalisme. Pendidikan PKn bertujuan untuk meningkatkan rasa cinta tanah air pada setiap siswa. 

Inti dari PKn sendiri adalah bagaimana menjadi warga negara yang baik. PKn tentunya harus dipadukan dengan penguasaan ilmu dan teknologi, sehingga terciptalah generasi masa depan yang kelak bisa memberikan sumbangsih dalam pembangunan bangsa.

Kesadaran akan pentingnya HAM, demokrasi menjadi bekal yang berharga untuk menghadapi beberapa masalah yang kerap kali terjadi. 

Jadi bisa dipastikan, Pancasila dan PKn saling berkesinambungan. Pancasila sebagai upaya untuk mengenal jati diri bangsa, dan PKn adalah sarana untuk meningkatkan rasa akan tanah air. Jadi menurut penulis, pendidikan pancasila dan PKn sebaiknya dipisahkan untuk setiap jenjang pendidikan. 

Dengan dipisahkannya Pancasila dari PKn, maka setiap siswa maupun mahasiswa mampu menghayati lebih dalam dan mengamalkan setiap butir dari Pancasila. 

Kemudian untuk memperkuat itu, dikuatkan lagi oleh PKn. Setelah mengenal identitas sendiri, maka harus disokong dengan penguatan untuk mencintai apa yang menjadi identitas negeri. 

Apa jadinya jika setiap generasi kita tidak mengenal jati dirinya sendiri. Tidak ada pedoman hidup yang dipegang, bukan tidak mungkin paham radikalisme mudah masuk begitu saja karena kurangnya fondasi terhadap jati diri bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun