Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kesan Pertama Anak Hukum Nonton Drama Korea "Law School"

9 Mei 2021   06:25 Diperbarui: 13 Mei 2021   15:38 5134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara pribadi, saya tidak terlalu tertarik dengan drama korea. Padahal anak muda sekarang tengah gandrung dengan seri drama asal negara ginseng tersebut. 

Saya pribadi lebih tertarik dengan anime. Anime memang menjadi teman sedari kecil sampai saat ini. Drama yang saya ingat adalah Meteor Garden. 

Klasik bukan, itu pun karena kakak saya memang sering nonton drama tersebut. Dan teve di rumah hanya ada satu. Jadi terpaksa mau tidak mau saya menonton drama tersebut. 

Kali ini ada satu drama korea yang menarik perhatian saya, yaitu Law School. Alasannya sederhana, karena judulnya menarik, belum lagi saya memang menempuh studi ilmu hukum.

Mungkin beberapa orang menonton drama ini karena dibintangi oleh artis ternama, atau openingnya yang bagus. Bagi saya tidak penting, alasannya ya saya tidak tahu menahu tentang korea.

Jadi yang ingin saya tahu adalah bagaimana sih sistem hukum di negeri ginseng sana. Mungkin sebagian orang tidak peduli dengan aspek ini, orang lebih peduli dengan jalan cerita dalam drama ini. 

Nah awal episode sudah ditunjukkan dengan simulasi persidangan. Memang untuk fakultas hukum simulasi persidangan menjadi mata kuliah wajib di semester akhir, bobot mata kuliah simulasi sendiri 3 SKS.

Sebelum menempuh mata kuliah simulasi persidangan, kita harus lulus mata kuliah prasyarat seperti hukum pidana, perdata beserta hukum acaranya. Karena disitulah acuan jalannya persidangan. 

Waktu itu saya dan teman-teman memilih kasus perdagangan orang dalam simulasi persidangan. Nah di dalam drama Law School ini, kasus yang disidangkan adalah tentang pembunuhan.

Kembali lagi pada simulasi persidangan, dalam simulasi setiap mahasiswa mendapatkan peran tertentu. Ada yang menjadi jaksa, terdakwa, saksi, pengacara, dan hakim. Kebetulan saat itu saya bertugas menjadi jaksa.

Di dalam drama tersebut komposisinya sama dengan kita, jika di Amerika sana ada yang disebut dengan juri. Nah awal cerita sendiri, agenda persidangan adalah keterangan saksi. 

Saksi sendiri secara umum ada tiga, saksi yang memberatkan terdakwa (a charge), ini diusulkan oleh jaksa. Saksi yang meringankan terdakwa (a de chaege), ini diusulkan oleh pengacara, dan saksi ahli. 

Nah dalam simulasi ini, saksi yang dihadirkan adalah saksi dari jaksa atau yang memberatkan terdakwa. Si jaksa dan hakim sama-sama menggunakan baju toga. 

Tetapi toga yang dipakai oleh hakim dalam drama itu berwarna hitam semuanya. Jika di Indonesia toga seperti itu digunakan oleh jaksa maupun pengacara. Nah si jaksa justru memakai toga hitam dan ada warna merah. 

Yang paling mencolok adalah si pengacara, mereka memakai baju bebas. Mungkin untuk memperlihatkan profesionalitas saja, ya mungkin, atau memang di sana seperti itu. 

Perdebatan sendiri mulai seru antara mba berambut bob yang menjadi pengacara dan mas berkacamata yang menjadi jaksa. Mba pengacara mendapatkan giliran dari hakim untuk bertanya kepada saksi. 

Saya salut dengan mba pengacara yang dengan tegas memainkan perannya sebagai pengacara. Meskipun secara prinsip pertanyaan mba pengacara begitu menggiring saksi, misalnya si saksi hanya menjawab ya atau tidak.

Jelas ini menjadi keberatan bagi Mas Jaksa, karena saksi yang dihadirkan menjawab tidak dengan bebas. Akan tetapi, Mas Jaksa kalah argumen dari Mba Pengacara. Selain itu hakim di sini terlihat begitu pasif. 

Biasanya ketika ada adu argumen yang hebat seperti itu, hakim melerai agar persidangan kembali berjalan dengan kondusif. Pertanyaan mba pengacara harus diakui begitu menggiring saksi. 

Mba Pengacara seakan menginginkan jawaban yang dikehendaki dari saksi. Ini dibuktikan dengan keberatan saksi, akan tetapi saksi dalam sidang itu tidak diperkenankan untuk menjawab keberatan. 

Kemudian sidang dijeda oleh bapak dosen selama tiga puluh menit. Selama jeda tersebut mas jaksa mengatakan bahwa mba pengacara seharusnya tahu batasan, dan disitulah mas jaksa kecewa dengan mba pengacara kemudian pergi. 

Saksi yang berambut kriting kemudian meminta maaf kepada mas jaksa karena seharusnya dia memberatkan terdakwa. Akan tetapi, malah menguntungkan terdakwa karena pertanyaan menggiring dari mba pengacara. 

Kemudian dalam percakapan itu mas berambut kriting mengatakan seharusnya dia diam dan tidak menjawab. Kemudian mas terdakwa melompat dari mejanya, dan berkata hak untuk diam adalah hak terdakwa, saksi tidak mempunyai hak tersebut. 

Ini hal menarik, hak ini muncul di dalam persidangan di Amerika sana, di Amerika ada yang disebut dengan dengan hak diam atau the right to remain silent yang tidak terpisahkan dari miranda rules.

Miranda rules awalnya muncul dari kasus Miranda di Arizona yang dituduh melakukan
pemerkosaan tanpa didampingi advokat. Miranda menandatangani BAP dan dipaksa untuk mengaku lewat tekanan verbal dalam proses interogasi.

Padahal hal itu tidak sesuai dengan hak asasi tersangka. Akhirnya lahir hak untuk diam alias tidak menjawab. Di Amerika, setelah kejadian kasus Miranda melahirkan asas baru, yaitu Miranda Warning, artinya penyidik di sana diwajibkan memberitahu kepada tersangka tentang haknya untuk diam.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia sendiri perihal ini diatur di dalam Pasal 52 KUHAP yang berbunyi:

Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.

Di dalam KUHAP sendiri tidak ditemukan secara eksplisit tentang miranda warning. KUHAP menjelaskan bahwa tersangka atau terdakwa bebas memberikan keterangan.

Itu artinya dalam setiap pemeriksaan petugas dilarang melakukan intimidasi kepada tersangka untuk mendesak agar mengakui kesalahannya. Prinsip inkisator semacam itu sudah berubah menjadi akusator.

Pengakuan tadi kini diganti menjadi "keterangan terdakwa" sebagai salah satu alat bukti. Dan terdakwa harus dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

Kembali lagi pada drama Law School. Setelah simulasi persidangan, ibu hakim kemudian menyuruh kepada mba yang berperan menjadi petugas pengadilan untuk pergi ke ruangan profesor agar simulasi kembali berjalan. 

Hal mengejutkan justru terjadi, sang profesor ditemukan tidak bernyawa dengan keadaan mulutnya penuh dengan busa, dan ada secangkir kofi di meja tersebut. 

Simulasi persidangan tentang pembunuhan karena diracun justru menjadi kenyataan. Tentunya ini menjadi keseruan dalam cerita. Nah pastinya seseorang sudah menyiapkan rencan dengan begitu apik atas kematian profesor tadi. 

Jika tidak dengan rencana yang baik, drama ini pastinya tidak akan ada. Karena pembunuhan berencana inilah akan menyeruak teka teki siapa sih pembunuh sesungguhnya. 

Kemudian adegan berubah ketika waktu kuliah. Mata kuliah yang sedang dipelajari adalah hukum pidana. Sang dosen adalah mantan jaksa penuntut umum.

Nah metode pengajaran di sini begitu menarik bagi saya. Sang dosen dalam mengajar materi langsung memberikan contoh kasus yang telah diputus oleh pengadilan.

Misalnya kasus mengenai dua pasangan yang selingkuh kemudian merekam hubungan seks mereka. Salah satunya kemudian merekam kembali video itu dengan ponsel dan mengirimkan pada si suami yang berselingkuh. 

Dikatakan dalam cerita itu, di sidang pertama dan kedua, si penyebar video bersalah. Mungkin maksud dari sidang pertama dan kedua adalah sampai pada upaya banding. 

Nah justru di tingkat Mahkamah Agung, ini bisa disebut dengan kasasi atau PK. Si penyebar video justru bebas. Kemudian sang dosen bertanya kepada mahasiswanya untuk menjawab inti permasalahannya.

Salah satu mahasiswa yang berperan sebagai terdakwa menjawabnya dengan lantang. Permasalahannya ada pada di undang-undang, jadi harus direvisi, karena di putusan awal menafsirkan kata "tubuh" secara harfiah. 

Lantas ada tidak penafsiran semacam itu? Penafsiran hukum sendiri merupakan satu metode untuk mencari frasa atau istilah yang terdapat dalam undang-undang. 

Biasanya metodenya seperti ini, hal yang paling umum adalah menafsirkan secara otentik, artinya dalam setiap pasal memang sudah dijelaskan maksud atau frasa suatu kejahatan.

Misalnya mencuri, dikatakan dalam KHUP kurang lebih seperti ini. 

Mencuri adalah perbuatan mengambil barang baik itu seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan tujuan untuk dimiliki secara melawan hukum.

Dari rumusan itu kita sudah tahu definisi alias batasan dari mencuri. Jadi kita tidak perlu repot untuk mencari penafsiran tentang mencuri itu apa karena dalam rumusan pasal sudah jelas. 

Cara kedua adalah mencari penjelasan undang-undang atau disebut memorie van toelichting. Undang-undang biasanya memberikan penjelasan pasal-pasal di bawahnya.

Jika suatu istilah tidak dijelaskan dengan pasti dalam pasal, maka untuk menafsirkannya adalah mencari di penjelasan. Cara ketiga adalah melihat putusan pengadilan atau yurisprudensi. 

Ketiga cara itu bisa disebut sebagai cara utama. Nah jika masih tidak ada, maka ada cara lain yaitu penafsiran secara gramatikal alias dari segi tata bahasa. Mungkin KBBI bisa dijadikan acuan untuk ini.

Tetapi penafsiran secara tata bahasa digunakan apabila ketiga cara utama tidak menemukan hasil sama sekali. Artinya dalam menafsirkan undang-undang harus sesuai dengan urutan yang benar.

Selain penafsiran gramatikal masih banyak metode penafsiran lain. Misalnya penafsiran historis, penafsiran logis, mempetentangkan, memperluas, mempersempit dan lain-lain.

Mungkin saja yang dimaksud penafsiran secara harfiah dalam drama ini adalah penafsiran gramatikal. Yah ini hanya opini pribadi saya semata

Bagi saya metode pembelajaran seperti ini bagus, itu artinya mahasiswa mau tidak mau harus aktif mengecek setiap putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan dan menganalisis.

Dari situ terjadi diskusi, karena terkadang hukum yang seharusnya dan senyatanya terjadi ketimpangan. Metode pembelajaran seperti itu bagi saya bagus untuk diterapkan disetiap fakultas hukum di negeri ini. 

Jika semua aspek hukum dibahas panjang rasanya. Intinya drama ini bagus, setidaknya bagi saya. Selain ceritanya menarik terutama dalam menemukan pelaku pembunuhan, ada teori-teori hukum yang segar. Adakah yang setelah menonton drama ini tertarik masuk fakultas hukum? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun