Urgensi RUU Perlindungan PRT
Sebagai negara hukum, tentunya hukum bisa memberikan rasa nyaman kepada setiap warganya. Setiap warga bisa dijamin dengan baik hak-haknya.
Pengakuan secara formal PRT terjadi sekitar tahun 2015 melalui Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Tetapi peraturan menteri saja tidak cukup, belum kuat. Hal ini menyebabkan PRT tidak diatur secara spesifik di dalam Undang-Undang Tenaga Kerja yang kini sudah menjadi klaster dalam Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja.
Pasal 1 ayat 3 UU Tenaga Kerja menejalaskan bahwa pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Lebih lanjut lagi, di dalam Pasal 1 ayat 15 yang berbunyi hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja atau buruh berdasarkan perjanijan kerja yang mempunyai unsur pekerjaann upah dan perintah.
PRT jelas masuk ke dalam kategori pekerja karena sudah memenuhi unsur-unsur di atas. PRT bekerja pada seorang pengusaha alias majikan (pengusaha itu sendiri bisa berbentuk perorangan atau badan hukum) dan tentunya jelas ada perintah untuk melakukan pekerjaan, dari hasil itu PRT akan menadapatkan upah.
Dengan demikian PRT adalah pekerja yang berhak atas hak-hak normatif dan perlindungan sebagaimana yang diterima pekerja pada umumnya.
Dengan terpenuhinya kategori sebagai pekerja, maka penting kiranya PRT untuk mendapatkan pengakuan sebagai pekerja dan dilindungi oleh undang-undang.
Hal tersebut sudah secara gamblang diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 sebagai berikut:
- Segala warga negara yang bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya
- Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanuisaan