Proletarier aller Lander vereinigt Euch, secara harfiah: Kaum proletar (buruh) dari semua negara, bersatu!
Semua orang tentu mengenal seruan tersebut. Rasanya slogan tersebut cocok untuk menggambarkan situasi saat ini yang tengah memperingati Hari Buruh Internasional alias May Day.Â
Seruan tersebut kerap kali menjadi api yang membakar semangat para buruh dalam memperjuangkan haknya. Namun, ada satu hal yang harus kita pikirkan selama ini.
Apakah seruan tersebut berlaku juga bagi mereka yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Apakah mereka yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga termasuk ke dalam kategori buruh atau tidak.
Menurut data ilo.org, dari analisa data survei tenaga kerja nasional pada tahun 2008-2015 jumlah pekerja rumah tangga cenderung meningkat. Tahun 2008 jumlahnya 2,6 juta dan tahun 2015 jumlahnya menjadi 4 juta.
Masih dalam tahun yang sama, dari data tersebut bisa lebih dirincikan menjadi, PRT tidak menginap alias live out meningkat yang tadinya 2.55 juta menjadi 3.35 juta. Sedangkan untuk PRT yang menginap alias live in cenderung menurun yang tadinya 1 juta menjadi 683 ribu.
Di beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, dan Hongkong pekerja rumah tangga sudah masuk ke dalam pekerjaan formal, bukan lagi dianggap sebagai pekerjaan informal.
Oleh karenanya, pekerja migran Indonesia yang datang ke negara-negara tersebut sudah disebut sebagai worker alias pekerja. Setiap pekerja Indonesia yang hendak bekerja di sana biasanya dibekali pelatihan terlebih dahulu.
Berbeda halnya di Indonesia, pekerja rumah tangga masih masuk dalam sektor pekerjaan informal, bahkan dianggap sebagai pekerja rendahan dan cenderung dilecehkan. Lebih jauh dari itu, seringkali mendapatkan tindakan diskriminatif dari majikan.
Sudah selayaknya PRT diakui sebagai pekerjaan dalam sektor formal. Setitik harapan muncul ketika Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2021.
Urgensi RUU Perlindungan PRT
Sebagai negara hukum, tentunya hukum bisa memberikan rasa nyaman kepada setiap warganya. Setiap warga bisa dijamin dengan baik hak-haknya.
Pengakuan secara formal PRT terjadi sekitar tahun 2015 melalui Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Tetapi peraturan menteri saja tidak cukup, belum kuat. Hal ini menyebabkan PRT tidak diatur secara spesifik di dalam Undang-Undang Tenaga Kerja yang kini sudah menjadi klaster dalam Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja.
Pasal 1 ayat 3 UU Tenaga Kerja menejalaskan bahwa pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Lebih lanjut lagi, di dalam Pasal 1 ayat 15 yang berbunyi hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja atau buruh berdasarkan perjanijan kerja yang mempunyai unsur pekerjaann upah dan perintah.
PRT jelas masuk ke dalam kategori pekerja karena sudah memenuhi unsur-unsur di atas. PRT bekerja pada seorang pengusaha alias majikan (pengusaha itu sendiri bisa berbentuk perorangan atau badan hukum) dan tentunya jelas ada perintah untuk melakukan pekerjaan, dari hasil itu PRT akan menadapatkan upah.
Dengan demikian PRT adalah pekerja yang berhak atas hak-hak normatif dan perlindungan sebagaimana yang diterima pekerja pada umumnya.
Dengan terpenuhinya kategori sebagai pekerja, maka penting kiranya PRT untuk mendapatkan pengakuan sebagai pekerja dan dilindungi oleh undang-undang.
Hal tersebut sudah secara gamblang diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 sebagai berikut:
- Segala warga negara yang bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya
- Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanuisaan
Diskriminasi dan stigmatisasi terhadap PRT dan pekerjaannya menimbulkan bias di masyarakat, pekeraan ini sering dianggap sepele, pekerjaan yang dipandang tidak memiliki keterampilan dan tidak bernilai ekonomis harus dihentikan.
Selain itu, eksploitasi dan ancaman kekerasan rentan didipat PRT, hal itu karena belum adanya payung hukum terkait PRT. Adanya payung hukum terhadap PRT jelas untuk menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-haknya dan kesejahteraan rumah tangga beserta keluarganya.
Beberapa hak yang harus dipenuhi
1. Jam kerja
PRT sebenarnya mempunyai ruang lingkup kerja yang sangat luas. Sebut saja mencuci, memasak, membersihkan rumah, merawat anak, merawat orang sakit atau berkebutuhan khusus, mengemudi dan masih banyak lagi.
Ruang lingkup pekerjaan yang terlalu luas tersebut harus ada pembatasan waktu kerja dan beban kerja. Meskipun kerja di rumah misalnya, tetap saja PRT harus mendapatkan jam kerja yang layak.
Mereka juga butuh istirahat. Jangan terlalu memberikan beban kerja yang terlalu berat. Untuk itu, adanya pembatasan jam kerja menjadi penting di sini. Jam kerja ideal ya sama dengan pekerja pada umumnya misalnya 8 jam perhari.
Rasanya untuk sektor PRT ini tidak demikian, apalagi jika PRT tersebut tinggal satu rumah. Jam kerja akan melebihi waktu kerja pekerja pada umumnya. Seharusnya itu masuk dalam kategori lembur.Â
2. Pelatihan dan pendidikan bagi PRT
Sama halnya dengan pekerja Indonesia yang dikirim ke luar negeri, PRT yang ada di dalam negeri juga harus mendapatkan pelatihan dan pendidikan.
Untuk meningkatkan keterampilan kerja bagi PRT, pemerintah harus menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi PRT melalui Balai Latihan Kerja.
Pelatihan bagi pekerja tersebut harus bisa dijangkau oleh PRT baik di wilayah asal maupun di wilayah kerja. Ruang lingkup dari pelatihan tersebut setidaknya meliputi pendidikan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan berbasiskan perlindungan dan peningkatkan keterampilan kerja.
3. Upah yang layak
Karena dianggap sebagai pekerjaan yang tidak mengedepankan keterampilan. Maka para PRT biasanya mendapatkan upah di bawah standar. Padahal ruang lingkup pekerjaan sendiri begitu banyak, selain itu jam kerja juga terkadang tidak manusiawi.
Untuk itu PRT berhak mendapatkan upah yang layak. Selain itu, PRT juga berhak mendapatkan cuti tentunya ini harus sesuai dengan kesepakatan antara PRT dan pemberi kerja.
Selain cuti, PRT juga berhak mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan sesuai kesepakatan perjanjian pemberi kerja dan PRT itu sendiri.
4. Hak untuk berserikat
Sama seperti pekerja atau buruh pada umumnya. PRT juga berhak berserikat, baik itu menjadi anggota maupun kepengurusan. Serikat merupakan hal yang penting bagi buruh, dengan berserikat kekuatan buruh menjadi begitu besar dan didengar.
Selama ini, suara dari PRT nyaris tidak didengar, seperti riak-riak kecil di samudera yang luas. Yang menyebabkan ini tentunya karena tidak adanya pengakuan PRT sebagai pekerjaaan sektor formal, ditambah lagi tidak adanya kekuatan alias serikat PRT yang membuat gaung PRT tidak terdengar sama sekali.
Itulah beberapa hak PRT yang seyogyanya didapatkan oleh PRT. Semoga saja dengan masuknya RUU Perlindungan PRT dalam Prolegnas bisa memberikan pengakuan dan memberikan jaminan serta perlindungan yang layak bagi PRT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H