Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menghilangnya Mata Kuliah Wajib Pendidikan Pancasila

20 April 2021   04:19 Diperbarui: 20 April 2021   06:39 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR. Sumber foto (kompas.com) 

Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk memajukan kondisi bangsa. Konstitusi kita menempatkan pendidikan sebagai salah satu cita-cita bangsa sebagaimana tercantum dalam pembukuan Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan pendidikan, kemajuan peradaban suatu bangsa ditentukan. Untuk itu, pemerintah selaku institusi tertinggi negara harus menyediakan peta jalan (road map) dan standar pendidikan nasional yang siap bersaing dengan global. 

Peta jalan pedidikan sendiri bertujuan untuk memetakan capaian pendidikan Indonesia ke depannya, misalnya untuk mengahasilkan pelajar unggul yang siap saing dengan global, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sedangkan standar nasional pendidikan bertujuan untuk menetapkan kriteria minimal tentang pendidikan yang berlaku di seluruh wilayah hukum Indonesia.

Beberapa waktu lalu, kita sempat dihebohkan dengan peta jalan pendidikan untuk tahun 2020-2035, hal tersebut karena hilangnya frasa agama dalam peta jalan pendidikan nasional tersebut.

Selain heboh dengan peta jalan pendidikan, standar nasional pendidikan juga membuat heboh belakangan ini. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Musabanya adalah, di dalam PP tersebut Pancasila sebagai mata kuliah wajib hilang untuk jenjang perguruan tinggi. 

PP tersebut ramai diperbincangkan oleh berbagai kalangan, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim secara terbuka mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo untuk merevisi PP tersebut.

Penolakan juga datang dari berbagai pihak, Ketua MPR Bambang Soestyo meminta agar presiden merevisi PP tersebut.

Ketidakharmonisan regulasi di bidang pendidikan

Jika kita mengacu pada regulasi tentang pendidikan, tentu induknya adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Selain undang-undang tersebut, ada juga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Tidak harmonsinya dua undang-undang tersebut bisa dilihat dari kurikulum yang diatur. Di dalam Undang-Undang Sisdiknas misalnya, untuk kurikulum perguruan tinggi dalam Pasal 37 menyatakan bahwa pedidikan tinggi setidaknya wajib memuat; pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa.

Hal ini berbeda sekali dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, dalam Pasal 35 jelas menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah; agama, Pancasila, kewarganegaraan, dan  bahasa Indonesia.

Untuk mekanisme peraturan lebih lanjut mengenai kurikulum tersebut, undang-undang mendelagasikan ke dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Maka keluarlah PP Nomor 57 Tahun 2021 menggantikan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional ( PP SNP lama).

Jika kta lihat kembali PP Nomor 57 Tahun 2021, sejatinya hanya mengacu pada undang-undang sisdiknas saja. Hal itu bisa dilihat dari kurikulum yang diatur untuk berbagai jenjang pendidikan. Isinya sama dengan undang-undang sisdiknas. PP tersebut jelas tidak mengakomodir undang-undang pendidikan tinggi.

Pasal 40 PP Nomor 57 Tahun 2021 sama persis muatannya dengan Pasal 37 dalam undang-undang sisdiknas. Itulah musababnya mata kuliah wajib Pancasila dan Bahasa Indonesia hilang.

Padahal di dalam dasar hukum (bagian mengingat) PP tersebut mencantumkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Nyatanya undang-undang dikti tidak terakomodir di dalam PP ini.

Perbedaan substansi dari kedua undang-undang di atas membuat PP ini bermasalah.
Seharusnya kedua undang-undang tersebut sinkron, akibatnya aturan turunannya bertentangan dengan aturan di atasnya yaitu undang-undang.

Padahal dalam hierarki peraturan perundang-undangan, kedudukan PP berada di bawah undang-undang. Oleh karenanya, substansi yang diatur tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya.

Seharusnya ada undang-undang yang menjadi induk bagi pendidikan, entah itu pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Undang-undang sisdiknas bisa dijadikan sebagai induk bagi semua regulasi pendidikan di Indonesia.

Satu undang-undang tapi mengakomodir semua regulasi di bidang pendidikan. Untuk itu perlu adanya revisi dalam berbagai regulasi dalam bidang pendidikan.

Mungkin bisa digunakan dengan metode omnibus law seperti kemarin, nantinya lahir undang-undang sapu jagat dalam bidang pendidikan. Selain itu, undang-undang sisdiknas juga sudah berusia 17 tahun lebih dan tentunya dinamika masyarakat pasti mengalami perubahan.

Undang-undang dikti, dosen, guru dan lain-lain seharusnya menjadi bagian dari undang-undang sisdiknas bukan menjadi undang-undang terpisah, mengingat semua itu adalah komponen penting dalam bidang pendidikan.

Pancasila bagian dari empat pilar kebangsaan

Pancasila merupakan bagian dari empat pilar kebangsaan. Komponen lain dari empat pilar diantaranya  Undang-Undang Dasar 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.

Empat pilar tersebut merupakan tiang penyangga alias soko guru agar bangsa Indonesia berdiri kokoh. Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia mempunyai kedudukan lebih tinggi. Setiap aspek kehidupan bangsa Indonesia harus berlandaskan Pancasila.

Pancasila juga merupakan sumber dari segala sumber hukum, itu artinya di dalam setiap aturan hukum harus menjiwai Pancasila, Pancasila merupakan sumber hukum secara filosofis. Aturan yang dikeluarkan nantinya harus mencerminkan nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia. 

Pancasila tidak hanya dihafal atau disebut ulang ketika upacara bendera, Pancasila adalah identitas atau jati diri bangsa Indonesia. Di dalamnya terdapat nilai-nilai adiluhung, untuk seukuran mahasiswa, Pancasila bukan lagi sebagai hafalan. Tetapi harus bisa mengamalkan setiap butir sila tersebut.

Apa jadinya jika genarasi muda kita tidak mengenal jati diri bangsanya, mungkin saja paham radikalisme bisa menjamur. Kasus Lukman dan Zakiah Aini merupakan salah satu contoh pentingnya Pancasila dalam sendi kehidupan.

Generasi muda yang tidak mengenal identitas bangsanya sendiri akan kehilangan arah, kehilangan rujukan dalam kehidupannya. Di dalam Pancasila terdapat sejarah berdirinya bangsa Indonesia. 

Jika kita memahami itu, kita akan bisa menghargai apa yang para pendiri bangsa kita perjuangkan. Undang-undang sisdiknas sejatinya tidak memperkenalkan istilah Pancasila dalam kurikulumnya. 

Bahkan untuk semua jenjang pendidikan,  di dalam undang-undang sisdiknas hanya ada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Seperti yang kita ketahui, Pancasila untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah menjadi bagian dari PKn.

Barulah di dalam undang-undang dikti baik Pancasila dan PKn adalah dua mata kuliah yang berdiri sendiri, tidak menjadi satu kesatuan. Mungkin saja PP tersebut ingin menyatukan kembali PKn dan Pancasila dalam satu mata kuliah. 

Akan tetapi bagi penulis sendiri lebih baik dipisahkan. Dengan dipisahkannya Pancasila dari PKn bisa memberikan penghayatan yang lebih kepada mahasiswa mengenai ideologi bangsa. Kemudian dikuatkan dengan PKn agar rasa nasionalisme di kalangan pelajar terus berkibar. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun