Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Paradoks Perkawinan Anak di Bawah Umur Saat Pandemi

17 April 2021   09:15 Diperbarui: 20 April 2021   10:38 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan di bawah umur. (Foto: The Independent/Unicef/Bridal Musings)

Terlebih dahulu saya ingin menjelaskan mengapa menggunakan istilah perkawinan dibanding pernikahan. Alasannya sederhana, perkawinan merupakan bahasa yang dipakai dalam undang-undang. 

Konstitusi kita yaitu Undang-Undang Dasar 1945 menggunakan istilah perkawinan. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 28B. Undang-undang turunannya juga menggunakan istilah serupa, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 

Jadi perkawinan sendiri merupakan bahasa yang digunakan dalam undang-undang. Pun begitu dalam dunia hukum, istilah perkawinan lebih sering digunakan daripada pernikahan. 

Perkawinan sejatinya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang prinsipil. Konstitusi kita melindungi hak yang satu ini. Perihal kapan hak itu dipakai itu sepenuhnya diserahkan pada masing-masing individu.

Di dalam hukum perdata, perkawinan merupakan salah satu bentuk dari perikatan atau perjanjian. Perjanjian sejatinya dibuat minimal oleh dua orang.

Agar perjanjian tersebut dianggap sah secara hukum, maka harus memenuhi beberapa persyaratan. Salah satunya cakap. Cakap adalah orang-orang yang mampu melakukan perbuatan hukum. 

Seseorang dianggap tidak cakap apabila belum dewasa, berada di bawah pengampuan, misalnya orang dewasa yang gila, dan orang yang dilarang oleh undang-undang, misalnya mereka yang dinyatakan pailit. 

Anak-anak masuk ke dalam kategori tidak cakap. Itu sebabnya dalam syarat perkawinan ada pembatasan umur yang harus dipenuhi guna memenuhi unsur cakap tadi. 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 membatasi umur untuk bisa menikah. Laki-laki sendiri minimal harus berusia 19 tahun, sedangkan untuk perempuan minimal 16 tahun. 

Tujuan dari pembatasan umur tersebut jelas untuk mencegah praktik perkawinan anak di bawah umur, praktik tersebut  masih marak terjadi di masyarakat.

Oleh karena usia 16 tahun bagi wanita masih dianggap terlalu dini, maka Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menaikkan usia menikah untuk perempuan menjadi 19 tahun. 

Realitanya, aturan dan fakta di lapangan jelas tidak sejalan. Praktik perkawinan anak di bawah umur masih saja terjadi, bahkan di tengah pandemi meningkat secara drastis. 

Di beberapa daerah perkawinan anak di bawah umur justru meningkat saat pandemi. Penyebab dari perkawinan tersebut bukan oleh virus, melainkan masalah sosial. 

Masalah ekonomi bagi saya bukan menjadi alasan utama menyeruaknya perkawinan dini. Mungkin di beberapa daerah demikian, tetapi alasan tersebut sangat klasik dan jadul. 

Masalah utama mengapa marak perkawinan dini adalah pergaulan yang menyimpang. Publik tentu masih ingat dengan kasus gang parakan 01 kemarin. 

Masalah tersebut lah yang membuat praktik perkawinan di bawah umur terus terjadi. Celakanya, untuk menyelesaikan masalah remaja tersebut kebanyakan masyarakat lebih memilih dikawinkan. 

Anak-anak yang hamil di luar perkawinan sah kemudian di kawinkan. Itulah cara yang dianggap menyelesaikan masalah. Padahal cara tersebut seolah-olah melupakan hulu permasalahannya yaitu kenakalan remaja.

Akibatnya hal tersebut dianggap perbuatan biasa. Lama-lama perbuatan tersebut bukan menjadi hal yang membuka aib, tetapi perbuatan biasa. 

Lain halnya jika perkawinan anak tersebut karena motif ekonomi. Di beberapa kasus ada orang dewasa yang kawin dengan seorang anak dengan iming-iming ekonomi. 

Perbuatan tersebut bisa dikategorikan sebagai kekerasan seksual terhadap anak. Ketentuan itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. 

Apalagi jika dalam kasus tersebut terdapat unsur paksaan. Maka perbuatan tersebut dapat ditarik ke ranah pidana. 

Peserta yang ikut aksi memperingati Hari Perempuan Internasional di Makassar. (Sumber: ANTARA FOTO/ARNAS PADDA)
Peserta yang ikut aksi memperingati Hari Perempuan Internasional di Makassar. (Sumber: ANTARA FOTO/ARNAS PADDA)
Tetapi untuk kasus hamil di luar perkawinan, bisa jadi kedua pasangan memang saling menyukai sehingga tidak ada unsur paksaan. Jika memang ada unsur paksaan perbuatan aib tersebut pasti tidak terjadi. Inilah masalahnya.

Jika didasarkan pada saling suka jelas tidak bisa ditarik ke ranah pidana, toh mereka juga saling menyukai itu. Selain itu, Undang-Undang Perkawinan juga memberikan celah terkait tidak terpenuhinya syarat perkawinan. 

Celah tersebut adalah adanya dispensasi. Adanya dispensasi alias izin, membuat masyarakat mengambil keputusan untuk menyelasaikan masalah ini dengan jalan perkawinan resmi. 

Hal tersebut jelas keliru. Menikahkan anak di usia dini hanya akan menambah beban saja. Apalagi usia belum matang. Terlebih bagi perempuan akan berakibat pada kesehatan. 

Anak-anak yang mengandung tentunya beresiko ketika melahirkan nanti. Secara medis di usia sekolah memang belum matang untuk mengandung. 

Orang dewasa saja harus mempertaruhkan nyawanya ketika melahirkan. Orang Sunda menyebut melahirkan dengan istilah ngajuru yang artinya ujung atau sudut. 

Memang tidak nyambung, tetapi memiliki makna filosofis yang dalam. Ngajuru berarti nyawa sang ibu ada di ujung tanduk, mempertaruhkan nyawa demi anak, begitulah makna istilah tersebut. 

Yang jelas, perbuatan tersebut telah melukai hati Kartini. Kartini mati-matian agar perempuan setara, tidak hanya dijadikan alat pemuas lelaki belaka. 

Menaikan usia anak untuk menikah saja jelas tidak cukup. Pangkal untuk mencegah perkawinan anak saat ini bukan di batas usia menikah yang terlalu rendah. 

Melainkan masalah sosial, itulah hulu yang harus diselesaikan. Keluarga selaku institusi terdekat harus proaktif dalam mendidik dan mengawasi pergaulan anak. 

Kasus perkawinan anak di bawah umur zaman dahulu dan sekarang jelas berbeda. Menyelesaikan kenakalan remaja dengan menikahkan anak bukan solusi yang tepat. 

Faktor-faktor yang mendorong terjadinya perkawinan anak lah yang harus diselesaikan. Regulasi saja jelas tidak cukup. Regulasi tidak akan berjalan dengan baik jika tidak diikuti dengan kesadaran masyarakat. 

Regulasi adalah upaya terakhir, mencegah perkawinan anak di bawah umur bukan di regulasi. Tetapi peran kita semua, khususnya lingkungan keluarga.

Menikah adalah hak, tetapi kita harus tahu kapan waktu yang tepat untuk menggunakan hak itu. Tugas dari keluarga adalah membimbing perihal itu. 

Menikah di usia yang tidak tepat, apalagi di usia belia hanya akan merugikan kaum perempuan saja. Ingatlah, Kartini telah mati-matian memperjuangkan ini. 

Jangan nodai perjuangan Kartini tersebut, tugas kita semua untuk menjaga dan melanjutkan cita-cita Kartini. Perempuan merupakan aset yang berharga. 

Di tangan perempuan lah lahir orang-orang hebat nan berbakat. Di tangan perempuan pula karakter seorang anak terbentuk, pendidikan, kesehatan bagi perempuan sangat penting. 

Di tangan ibu yang sehat dan berpendidikan, maka lahir lah anak yang cerdas. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun