Realitanya, aturan dan fakta di lapangan jelas tidak sejalan. Praktik perkawinan anak di bawah umur masih saja terjadi, bahkan di tengah pandemi meningkat secara drastis.Â
Di beberapa daerah perkawinan anak di bawah umur justru meningkat saat pandemi. Penyebab dari perkawinan tersebut bukan oleh virus, melainkan masalah sosial.Â
Masalah ekonomi bagi saya bukan menjadi alasan utama menyeruaknya perkawinan dini. Mungkin di beberapa daerah demikian, tetapi alasan tersebut sangat klasik dan jadul.Â
Masalah utama mengapa marak perkawinan dini adalah pergaulan yang menyimpang. Publik tentu masih ingat dengan kasus gang parakan 01 kemarin.Â
Masalah tersebut lah yang membuat praktik perkawinan di bawah umur terus terjadi. Celakanya, untuk menyelesaikan masalah remaja tersebut kebanyakan masyarakat lebih memilih dikawinkan.Â
Anak-anak yang hamil di luar perkawinan sah kemudian di kawinkan. Itulah cara yang dianggap menyelesaikan masalah. Padahal cara tersebut seolah-olah melupakan hulu permasalahannya yaitu kenakalan remaja.
Akibatnya hal tersebut dianggap perbuatan biasa. Lama-lama perbuatan tersebut bukan menjadi hal yang membuka aib, tetapi perbuatan biasa.Â
Lain halnya jika perkawinan anak tersebut karena motif ekonomi. Di beberapa kasus ada orang dewasa yang kawin dengan seorang anak dengan iming-iming ekonomi.Â
Perbuatan tersebut bisa dikategorikan sebagai kekerasan seksual terhadap anak. Ketentuan itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.Â
Apalagi jika dalam kasus tersebut terdapat unsur paksaan. Maka perbuatan tersebut dapat ditarik ke ranah pidana.Â