Jika didasarkan pada saling suka jelas tidak bisa ditarik ke ranah pidana, toh mereka juga saling menyukai itu. Selain itu, Undang-Undang Perkawinan juga memberikan celah terkait tidak terpenuhinya syarat perkawinan.Â
Celah tersebut adalah adanya dispensasi. Adanya dispensasi alias izin, membuat masyarakat mengambil keputusan untuk menyelasaikan masalah ini dengan jalan perkawinan resmi.Â
Hal tersebut jelas keliru. Menikahkan anak di usia dini hanya akan menambah beban saja. Apalagi usia belum matang. Terlebih bagi perempuan akan berakibat pada kesehatan.Â
Anak-anak yang mengandung tentunya beresiko ketika melahirkan nanti. Secara medis di usia sekolah memang belum matang untuk mengandung.Â
Orang dewasa saja harus mempertaruhkan nyawanya ketika melahirkan. Orang Sunda menyebut melahirkan dengan istilah ngajuru yang artinya ujung atau sudut.Â
Memang tidak nyambung, tetapi memiliki makna filosofis yang dalam. Ngajuru berarti nyawa sang ibu ada di ujung tanduk, mempertaruhkan nyawa demi anak, begitulah makna istilah tersebut.Â
Yang jelas, perbuatan tersebut telah melukai hati Kartini. Kartini mati-matian agar perempuan setara, tidak hanya dijadikan alat pemuas lelaki belaka.Â
Menaikan usia anak untuk menikah saja jelas tidak cukup. Pangkal untuk mencegah perkawinan anak saat ini bukan di batas usia menikah yang terlalu rendah.Â
Melainkan masalah sosial, itulah hulu yang harus diselesaikan. Keluarga selaku institusi terdekat harus proaktif dalam mendidik dan mengawasi pergaulan anak.Â
Kasus perkawinan anak di bawah umur zaman dahulu dan sekarang jelas berbeda. Menyelesaikan kenakalan remaja dengan menikahkan anak bukan solusi yang tepat.Â
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya perkawinan anak lah yang harus diselesaikan. Regulasi saja jelas tidak cukup. Regulasi tidak akan berjalan dengan baik jika tidak diikuti dengan kesadaran masyarakat.Â