Ketika itu, Nietzsche menderita penyakit misterius yang menimpa dirinya. Ditambah lagi kegagalan kisah cintanya yang terbilang cukup tragis.Â
Dikisahkan ia pernah atuh cinta pada seorang gadis muda cerdas bernama Lou Salome. Saya lupa, entah dua atau tiga kali Nietzsche melamar wanita itu, tetapi selalu ditolaknya.Â
Cintanya bertepuk sebelah tangan, Nietzsche galau. Di tengah kegalauan itu, ya seorang filsuf biasanya kan penyendiri, ditambah cinta bertepuk sebelah tangan, bisa dibayangkan semakin penyendirinya Nietzsche.Â
Orang menanggapi patah hati dengan berbagai cara, ada yang bangki dan cari lagi yang baru, ada juga yang buat novel, film, atau lagu yang mengisahkan pahitnya cinta. Nietzsche juga sama, dia menghasilkan karya yang kita nikmati saat ini.Â
Karena kegagalan cinta yang pahit itu, sang pembunuh Tuhan menyendiri dan memilih untuk membujang sampai akhir hayatnya di usia 55 tahun.Â
Ah mungkin Nietzsche bisa dengan gagah berani membunuh Tuhan, tetapi tidak untuk membunuh perasaan kepada pujaan hatinya. Dahsyat sekali cinta itu ya.Â
Mungkin dari situlah lahir amor fati (cinta akan takdir), atau si manusia unggulnya. Saya tidak tahu apakah cara Nietzsche yang memilih membujang sampai akhir hayat itu merupakan cinta kepada takdir atau bukan.Â
Meskipun dalam amor fati nya itu Nietzsche menekankan untuk mewarnai hidup lebih berwarna dan bermakna, mungkin ya ini mungkin tanpa cinta hidup ini tidak bermakna. Yah begitulah kisah Nietzsche, bagi saya beliau gagal move on.Â
Mungkin kata-kata Tju Pat Kai dari serial Kera Sakti cocok untuk menggambarkan ini, "begitulah cinta deritanya tiada akhir."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H