Bulan April merupakan bulan lahirnya salah satu pejuang emansipasi wanita di Indonesia. Pejuang emansipasi itu, ialah Raden Adjeng Kartini.Â
Kartini merupakan salah satu tokoh wanita yang aktif menyuarakan hak-hak perempuan. Kartini mencurahkan pemikiran dalam surat-suratnya bahwa kaum perempuan mempunyai hak yang sama dengan kaum laki-laki. Oleh karenanya, baik laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama.Â
Begitu pun dalam hal pendidikan, kaum perempuan sama hal nya dengan laki-laki, pendidikan tidak hanya untuk kaum laki-laki saja, tetapi perempuan juga memiliki hak yang sama.Â
Ditambah lagi dengan budaya waktu itu, bahwa perempuan sejatinya hanya untuk menjadi ibu rumah tangga saja, asalkan bisa masak, melayani suami, cukuplah untuk dinikahkan meskipun usia pernikahan amat muda.Â
Perjuangan Kartini tidak menggunakan senjata, senjata satu-satunya yang dipakai Kartini hanyalah pena, dan buah pikiran Kartini tersebut abadi, bahkan bisa kita nikmati saat ini.Â
Untuk menghormati jasa Kartini tersebut, setiap tanggal 21 April sering diperingati sebagai Hari Kartini. Nama Kantini juga diabadikan menjadi sebuah lagu yang kini dikenal oleh semua anak bangsa.Â
Beberapa seniman juga mengabadikan jasa Kartini dalam sebuah film. Selain itu, Kartini juga diabadikan dalam bentuk karya Sastra oleh Parmoedya Ananta Toer dengan judul "Panggil Aku Kartini Saja".Â
Di tanah Sunda, ada satu lagi pejuang emansipasi wanita, dia adalah Dewi Sartika. Dewi Sartika lahir di Cicalengka, Bandung 4 Desember 1884.
Dewi Sartika lahir dari keluarga yang terpandang. Ayahnya, Raden Rangga Somanagara, adalah Patih Bandung. Ibunya, Rajapermas, adalah putri Bupati Bandung saat itu, R.A.A. Wiranatakusumah IV.Â
Ayah Dewi Sartika bisa dibilang cukup maju, oleh karenanya Dewi Sartika bisa mendapatkan pendidikan kala itu. Sama halnya di Jawa, menyekolahkan perempuan merupakan sesuatu di luar kewajaran di tanah Sunda.Â
Pada saat itu, ayah Dewi Sartika diasingkan oleh pemerintahan Hindia Belanda, kemudian Dewi Sartika dititipkan kepada pamannya yaitu Raden Demang Suria Kartahadiningrat di Cicalengka.Â
Pamannya tersebut merupakan orang yang terpandang di Cicalengka, dan banyak anak-anak menak lainnya seringkali menitipkan kepada paman Dewi Sartika untuk mendapatkan palajaran peri kehidupan dan kepriyaiyan.Â
Teman-teman Dewi Sartika seringkali mendapatkan surat cinta dari menak laki-laki Sunda, tetapi mereka tidak bisa membacanya, dan mereka meminta Dewi Sartika untuk membacakannya.Â
Namun, di sini jiwa Dewi Sartika bergejolak, kaummya lemah begitu pikirnya. Lemahnya kedudukan sosial kaum perempuan tidak lain karena kurangnya pendidikan bagi mereka.Â
Kaum lelaki mendapatkan pendidikan yang bagus, sementara untuk kaum perempuan hanya dibekali perihal mengurus urusan rumah tangga saja.Â
Kaum perempuan cukup bergantung pada suami atau ayahnya, hal ini bisa dilihat dari ibunya yang tidak berdaya kala ayahnya diasingkan. Kehidupan di Cicalengka merupakan gambaran kecil dari feodalisme di tanah Sunda pada saat itu.Â
Jika Dewi Sartika hanya berdiam di Cicalengka, kehidupan dia tidak akan maju, ditambah lagi budaya kolot di sana pada saat itu. Untuk itu, Dewi Sartika memutuskan kembali ke Bandung.Â
Setibanya di Bandung, Dewi Sartika memberanikan diri menghadap bupati pada saat itu, yaitu Martanegra untuk mendirikan sekolah khusus bagi kaum perempuan.
Usulan tersebut diterima oleh Bupati, dan berdirilah Sakola Istri  pada 16 Januari 1904, bertempat di Paseban Kulon Pendopo Kabupaten Bandung.Â
Sekolah ini merupakan sekolah pertama bagi gadis-gadis Indonesia. Pada waktu berdirinya sekolah itu hanya memiliki dua ruangan untuk belajar. Muridnya berjumlah dua puluh orang dengan tiga orang tenaga pengajar, yaitu Raden Dewi Sartika, Ibu Purma, dan Ibu Uwit.
Kurikulum sekolah tersebut disesuaikan dengan standar pemerintah, kemudian ditambahkan keterampilan bagi kaum perempuan. Misalnya menjahit. Perkembangan Sakola Istri cukup pesat, dan seiring berjalannya waktu murid bertambah banyak. Â
Pada tahun 1914 nama sekolah itu diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri guna mendekati tujuan pendidikan di sekolah itu yakni menghasilkan wanita utama.Â
Selanjutnya Sakola Kautamaan Isteri menyebar ke pelbagai kota dan kabupaten, antara lain Garut, Tasikmalaya dan Purwakarta.
Berkat jasanya dalam meperjuangkan pendidikan bagi kaum hawa, Dewi Sartika dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau pada ulang tahun ke-35 Sekolah Kautamaan Istri. Pada 1 Desember 1966, ia diakui sebagai Pahlawan Nasional.
Kini Sakola Kautamaan Istri namanya berubah menjadi Sekolah Dewi Sartika, dan nama Kautamaan Istri diabadikan menjadi nama jalan di Kota Bandung, lokasi sekolah tersebut terletak di Balonggede.Â
Sekolah tersebut terawat dengan baik, pada 2016 lalu, ketika mengikuti SBMPTN kebetulan lokasi ujian saya di sekolah bersejarah tersebut yaitu Sekolah Dewi Sartika.Â
Sekolah tersebut sejuk, banyak pohon, dan tidak terlalu luas. Lebih luas sekolah negeri lain di Bandung, sekolah Dewi Sartika sendiri untuk jenjang SD dan SMP. Tetapi di tempat inilah pendidikan bagi kaum perempuan khususnya di Bandung dimulai.Â
Perempuan dan PendidikanÂ
Baik Dewi Sartika dan Kartini mempunyai satu kesamaan, yaitu situasi yang sama. Budaya yang mengekang kaum perempuan dan perjuangan pendidikan bagi kaum perempuan. Lantas bagaimana pendidikan bagi kaum perempuan untuk saat ini?Â
Di daerah penulis sendiri, tepatnya di Kabupaten Bandung perempuan kini sudah mendapatkan pendidikan yang sama dengan lelaki.Â
Mungkin semangat emansipasi dari kedua pejuang perempuan itu sudah sampai pada kita, dan ya di zaman sekarang perempuan dan laki-laki memang setara.Â
Tidak hanya dalam dunia pendidikan, bahkan emansipasi sudah melebar ke dunia politik, pemerintahan, penegakkan hukum, dunia kerja, militer, bahkan olahraga.Â
Tetapi, pemikiran-pemikiran warisn feodal terutama di pedesaan masih lah belum hilang, terutama pada generasi lama. Masih banyak orang-orang jadul yang memiliki pola pikir jadul terhadap pendidikan bagi kaum perempuan.Â
Pola pikir tersebutlah yang harus diubah pada saat ini, di daerah penulis sendiri meskipun pendidikan sama didapatkan. Tetapi stigma perempuan ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga masih melekat.Â
Pola pikir perempuan ujungnya menjadi ibu rumah tangga masih belum hilang, terutama di lingkungan pedesaan dan orang-orang yang pemikirannya masih jadul. Sekali lagi, mengapa mereka berpikir seperti itu, ya karena tidak mendapatkan pendidikan yang cukup.Â
Pendidikan merupakan instrumen yang penting dalam kemajuan bangsa. Majunya suatu bangsa dilihat sejauh mana pendidikan itu bagi warganya.
Apa yang diperjuangkan oleh Kartini dan Dewi Sartika bisa dinikmati saat ini khususnya oleh kaum perempuan.Â
Untuk para perempuan, teruskan lah cita-cita dua pendekar di atas tadi jangan disia-siakan perjuangan mereka. Di tangan ibu yang cerdas, maka lahirlah anak yang cerdas.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H