Ayah Dewi Sartika bisa dibilang cukup maju, oleh karenanya Dewi Sartika bisa mendapatkan pendidikan kala itu. Sama halnya di Jawa, menyekolahkan perempuan merupakan sesuatu di luar kewajaran di tanah Sunda.Â
Pada saat itu, ayah Dewi Sartika diasingkan oleh pemerintahan Hindia Belanda, kemudian Dewi Sartika dititipkan kepada pamannya yaitu Raden Demang Suria Kartahadiningrat di Cicalengka.Â
Pamannya tersebut merupakan orang yang terpandang di Cicalengka, dan banyak anak-anak menak lainnya seringkali menitipkan kepada paman Dewi Sartika untuk mendapatkan palajaran peri kehidupan dan kepriyaiyan.Â
Teman-teman Dewi Sartika seringkali mendapatkan surat cinta dari menak laki-laki Sunda, tetapi mereka tidak bisa membacanya, dan mereka meminta Dewi Sartika untuk membacakannya.Â
Namun, di sini jiwa Dewi Sartika bergejolak, kaummya lemah begitu pikirnya. Lemahnya kedudukan sosial kaum perempuan tidak lain karena kurangnya pendidikan bagi mereka.Â
Kaum lelaki mendapatkan pendidikan yang bagus, sementara untuk kaum perempuan hanya dibekali perihal mengurus urusan rumah tangga saja.Â
Kaum perempuan cukup bergantung pada suami atau ayahnya, hal ini bisa dilihat dari ibunya yang tidak berdaya kala ayahnya diasingkan. Kehidupan di Cicalengka merupakan gambaran kecil dari feodalisme di tanah Sunda pada saat itu.Â
Jika Dewi Sartika hanya berdiam di Cicalengka, kehidupan dia tidak akan maju, ditambah lagi budaya kolot di sana pada saat itu. Untuk itu, Dewi Sartika memutuskan kembali ke Bandung.Â
Setibanya di Bandung, Dewi Sartika memberanikan diri menghadap bupati pada saat itu, yaitu Martanegra untuk mendirikan sekolah khusus bagi kaum perempuan.
Usulan tersebut diterima oleh Bupati, dan berdirilah Sakola Istri  pada 16 Januari 1904, bertempat di Paseban Kulon Pendopo Kabupaten Bandung.Â
Sekolah ini merupakan sekolah pertama bagi gadis-gadis Indonesia. Pada waktu berdirinya sekolah itu hanya memiliki dua ruangan untuk belajar. Muridnya berjumlah dua puluh orang dengan tiga orang tenaga pengajar, yaitu Raden Dewi Sartika, Ibu Purma, dan Ibu Uwit.