Ya.Â
Pergi, bukan mati.Â
Tak  ada yang salah dengan kepergian. Rumah kecil itu dahulu adalah definisi pulang, sebelum semua penghuni akhirnya pergi. Dari sini pun akhirnya tempat itu hilang, ia tak betah sendiri, ia rindu pada Bapak dan aku, tetapi seabadi-abadinya jalinan tembok itu berdiri, toh ia tak akan bertahan tanpa kami.
Kenangan malam mencekam di lereng pegunungan puluhan tahun silam itu akhirnya mengantarkanku pada sebuah perjalanan. Bertahun-tahun kemudian, hingga akhirnya kujumpai kematianku sendiri, dan sampai kuburanku di penuhi rerumputan belukar.  Kisah itu mengantarkanku pada perjalanan dalam kereta ini. Oh ya, soal hari pemakamanku, aku di kubur pada hari sebuah pelangi leleh  membanjiri ladang bunga. Aku mati setelah momen itu terjadi, sayang sekali, itu sebabnya kuburanku hanya di penuhi belukar kering.Â
Ini bukanlah sebuah perjalanan kembali, apalagi perjalanan pergi. Ruang di gerbong ini adalah waktu dan semua kehidupan yang ingin di kenang. Kereta ini di desain untuk mereka yang ingin terpekur mengingat hidup, meraba-raba perjalanan hidup yang pernah mereka jalani, mengantarkan pergi ke tempat yang dahulu pernah mereka singgahi. Seperti aku yang memilih mengunjungi kenangan masa lalu malam di sebuah lereng pegunungan yang mencekam. Kursi-kursi duduknya adalah jalan itu sendiri, mereka adalah makhluk-makhluk yang bisa memahami.Â
Tetapi kau lihat? Orang-orang ini masih saja tertidur, termasuk aku.
"Nn. Allysa, tiketnya,"
Aku tergeragap bangun oleh suara pelan petugas tiket kereta di samping tempatku duduk. Seketika amarah terbit, mataku tajam menatap petugas itu yang masih berdiri resah. Kurogoh kasar tiket kumal dari saku baju, kulemparkan selebaran itu ke lantai  dekat ia berdiri. Habis sudah setitik kebaikan yang semula tersisa. Aku menyerapah kasar padanya dalam bahasa yang tak akan pernah bisa kau pahami.Â
Kata-kata itu adalah wujud penyesalanku pada mimpi yang hilang begitu saja, erat genggamanku tak bisa membuatnya tetap tinggal. Dan petugas itu memungutnya dengan sendu, matanya dalam menatap lantai dengan sejuta perasaan bersalah. Seolah-olah tiket itu adalah sarana jalannya menuju neraka. Namun ia berlalu tanpa maaf, ya, di kereta ini kami tidak bisa saling memahami. Bahasa-bahasa lisan yang banyak menyebabkan petaka tak berlaku di sini. Kata maaf tak ada dalam sejarah kehidupan yang telah mati.
Gerakanku menyebabkan ransel yang kupeluk jatuh kelantai, isinya berhamburan. Petugas itu kembali menoleh kebelakang, hendak berbalik membantu, tetapi melihat tatapan tajamku ia akhirnya mengangguk pergi. Aku bangkit hendak memunguti barang yang tumpah itu satu-persatu.
"KRAK!"