Dan ini adalah cerita yang kujanjikan, dengarkan aku, meski aku bercerita padamu dari kejauhan ruang dan waktu.
Malam itu di rumah kosong yang temaram, hanya ada Bapak yang menua dan anak durhakanya. Langit-langit rumah terasa pengap oleh kesakitan dan rindu yang ditinggalkan. Aura kosong melingkupi seluruh sudut rumah. Sebentar lagi rumah ini akan benar-benar suwung ketika aku pergi.
"Aku pergi pak,"
Pendek, dan wajah tua Bapak menatap tak mengerti. Ekspresi tuanya menyayat hati, menatap dinding-dinding kumuh yang jengah oleh kepergian. Pandangannya tergeragap pada tas di punggungku, mulut tuanya ingin menumpahkan banyak kata namun tercekat ketika langkahku menjauh.  Dari kejauhan siluet tubuh Bapak di rumah gubuk berdinding bambu  lereng pegunungan itu lagi-lagi menerkam nurani.Â
Tergopoh-gopoh bayangan Bapak mengejar, tersaruk bebatuan terjal yang akirnya menjerembabkannya pada jurang kemustahilan.Â
Sekarang rumah itu benar-benar kosong.
Senter di tangan meredup cahayanya, napasku memburu di telikung rasa takut. Terengah-engah aku berjalan di antara malam yang sepi. Tubuh pedesaan di lereng pegunungan terpencil, jam sebelas malam terasa mencekam. Berkali-kali kutolehkan kepala ke belakang entah apa yang kutakutkan. Seumur hidup aku belum pernah berjalan sendirian. Sejak hari kelahiran, hingga akhirnya tiba jasad di pekuburan, ada banyak sekali orang di sekelilingku. Namun seiring perjalanan, satu persatu mereka pergi, membawa jasa masing-masing.Â
Aku tak pernah bisa meminta mereka sepanjang waktu menemani, hingga hari ini pun, saat aku harus menunggangi kereta, hanya kepada ruangan sunyi maya aku berteman.
Nah, malam itu aku sempurna berjalan sendiri. Aku melihat diriku dibanjiri keringat dingin, di cekam takut luar biasa. Kerikil-kerikil kecil sepanjang jalan seperti tangan-tangan hidup yang sengaja mencekal langkahku. Tetapi saat itulah aku benar-benar mengerti apa itu takut. Rasanya seperti di cekam kegelapan tak berujung, dikejar makhluk yang tak pernah bisa di pahami keberadaannya. Tertikam kekhawatiran, dan denyut nadi seperti di iris-iris belati, bisa mati kapan saja. Sedang di belakang kutinggalkan bayangan Bapak sendirian yang jatuh ke jurang.
Bapak adalah salah satu bagian hidupku. Sejak dulu kami bersama, tetapi hari ini aku rasa semuanya sudah berubah. Aku tak perlu lagi apa itu keluarga, aku tak ingin lagi mengenal kata pulang. Lihatlah, dunia sungguh berbeda di hari aku memutuskan pergi. Dan alasannya adalah, aku memelihara ketakutan luar biasa pada momen kematian. Hanya ada Bapak di hidupku, aku seperti dilahirkan dari rahimnya karena aku tak pernah mengenal Ibu.
Memiliki satu selalu menyebabkan kesakitan, jadi bukankah lebih baik tak memiliki sama sekali? Sejak satu persatu kematian terjadi dalam hidupku, aku tak ingin lagi mengalaminya. Jika kematian orang-orang yang tak kukenal saja membuatku di cekam kesedihan, lalu bagaimana jika suatu saat nanti Bapak yang mati? Setidaknya jika aku meninggalkannya, aku tak akan pernah menjumpai kematian itu. Dan semuanya di catat sebagai kepergian.Â