Mohon tunggu...
Dani Hestina
Dani Hestina Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Kadang hidup perlu ditertawakan yaa....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kereta Kehidupan

12 Februari 2018   12:43 Diperbarui: 12 Februari 2018   12:44 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita ini diceritakan sendiri olehku tujuh puluh tahun lalu. Tentang kehidupanku yang singkat di sebuah tempat fana, aku tak tahu di sebut apa alam itu.  Sudah lama kutinggalkan dan sejauh ini hanya sedikit yang masih bisa kuingat. Itupun singkat saja, hanya hari-hari kecil yang masih sedikit tertinggal di memori dan seseorang yang kucatat namanya dalam hati. Sekarang aku di dalam seonggok kereta yang membawaku menjauh, kelebat bayangan seseorang itu, Bapak,  menghantui dan meminta di tepis. Bangku di sebelahku kosong. Kereta malam yang lengang. Kesiur angin loncat dari jendela yang kacanya diburami perjalanan, menampar-nampar pipiku dengan sombong. 

Di ujung lorong seorang petugas tiket  memandangi seisi gerbong yang seluruh penumpangnya tertidur dengan tatapan resah. Ia ragu haruskah ia mencoleki pundak-pundak mereka, menghancurkan gelegak mimpi yang di tiduri lelah hanya untuk selembar tiket? Staples di genggaman tangannya ikut ternganga dingin, jika sebatang besi itu bisa berkata, ia akan menghardik, "Aku ngantuk, tahu!" 

Dan demi semili kebaikan yang masih tersisa, kurogoh secarik kertas kumal dari saku baju. Jika petugas tiket itu sampai di kursiku nanti, akan kuberi bukti yang menjadi saksi halalnya aktivitas dudukkku di kereta ini sebelum ia meminta. Untuk mengurangi resahnya, untuk mencabut rasa bersalahnya. Tetapi menunggu petugas itu, rasanya seperti mengantri mandi di WC umum terminal kumuh, tak sabar, di buru-buru kotor, dan di telikung was-was copet berkeliaran. Karena ia masih saja di ujung lorong, berkelahi dengan resahnya.

 Malam  larut bercampur air telah kuminum dan menjadikan kantukku memberontak dalam penantian. Dari sela-sela kaca yang terbuka, kupandangi tetumbuhan gelap yang berlarian kebelakang. Mereka menjauh saat melihat wajahku, memandangiku seperti hantu. Ah! Wajah Bapaklah yang menjadi hantu. Berkali-kali gurat wajahnya menggerogoti tepi-tepi hati, membuat nuraniku sendiri menghakimi, kau anak durhaka!

 Lalu aku membantah padanya, apa salahnya menjadi durhaka? Semua manusia pastilah durhaka pada Tuhan. Hanya hati-hati yang di isi kosonglah yang selalu merengek bersembunyi di balik jubah taqwa. 

Munafik! hatiku mendesis.

Mataku semakin sayu memandangi depan kursiku yang juga kosong, pandanganku beralih dari nyata-nyata menjadi kabur dituangi mimpi tidur. Tanganku melemah pada pelukan tas ransel di depan dada. Masih juga berputar perpisahanku dengan Bapak puluhan tahun lalu. Namun aku merasa momen itu baru saja terjadi, seharusnya aku sudah lupa jika telah terjadi selama itu. Tetapi kisah ini nyata sebab tokohnya adalah Bapak, seseorang yang pernah  berjanji tak akan pernah kulupakan... 

 Sebentar , namaku Allysa. 

Aku adalah seseorang yang akan meminum secangkir kopi meski isinya telah habis. Aku adalah orang yang akan menyobek merk sebuah koran sebelum membacanya. Dan aku adalah orang yang akan melipat baju setelah dia jadi basah. Kau juga boleh melakukan itu semua, meski namamu bukan Allysa. Atau meski kau juga bernama Allysa, tetapi kau bukanlah diriku. Tidak ada yang salah dengan hal-hal itu. Yang salah adalah jika kau mencoba jadi diriku, kau tak akan bisa, sebab aku itu sempurna.

Orang-orang suka memanggilku Ally, padahal aku ini perempuan. Sebenarnya itu bukan masalah, laki-laki perempuan sama saja. Sama-sama akan mati. Jadi cukup saja perkenalannya, untuk apa kau mengenalku lebih jauh, kau pun tak akan bisa bertemu denganku di manapun kau mencari.

Aku tidak akan duduk di kereta ini tanpa mengenang masa lalu. Meski sebentar lagi aku tertidur. Yah..perjalanan ini sungguh panjang, belum akan berakhir meski kau telah mati ribuan kali. Kematian pertamamu adalah sepuluh tahun waktu di sini, jadi bisa dibayangkan, akan seberapa jauh perjalanan ini.

 Dan ini adalah cerita yang kujanjikan, dengarkan aku, meski aku bercerita padamu dari kejauhan ruang dan waktu.

Malam itu di rumah kosong yang temaram, hanya ada Bapak yang menua dan anak durhakanya. Langit-langit rumah terasa pengap oleh kesakitan dan rindu yang ditinggalkan. Aura kosong melingkupi seluruh sudut rumah. Sebentar lagi rumah ini akan benar-benar suwung ketika aku pergi.

"Aku pergi pak,"

Pendek, dan wajah tua Bapak menatap tak mengerti. Ekspresi tuanya menyayat hati, menatap dinding-dinding kumuh yang jengah oleh kepergian. Pandangannya tergeragap pada tas di punggungku, mulut tuanya ingin menumpahkan banyak kata namun tercekat ketika langkahku menjauh.  Dari kejauhan siluet tubuh Bapak di rumah gubuk berdinding bambu  lereng pegunungan itu lagi-lagi menerkam nurani. 

Tergopoh-gopoh bayangan Bapak mengejar, tersaruk bebatuan terjal yang akirnya menjerembabkannya pada jurang kemustahilan. 

Sekarang rumah itu benar-benar kosong.

Senter di tangan meredup cahayanya, napasku memburu di telikung rasa takut. Terengah-engah aku berjalan di antara malam yang sepi. Tubuh pedesaan di lereng pegunungan terpencil, jam sebelas malam terasa mencekam. Berkali-kali kutolehkan kepala ke belakang entah apa yang kutakutkan. Seumur hidup aku belum pernah berjalan sendirian. Sejak hari kelahiran, hingga akhirnya tiba jasad di pekuburan, ada banyak sekali orang di sekelilingku. Namun seiring perjalanan, satu persatu mereka pergi, membawa jasa masing-masing. 

Aku tak pernah bisa meminta mereka sepanjang waktu menemani, hingga hari ini pun, saat aku harus menunggangi kereta, hanya kepada ruangan sunyi maya aku berteman.

Nah, malam itu aku sempurna berjalan sendiri. Aku melihat diriku dibanjiri keringat dingin, di cekam takut luar biasa. Kerikil-kerikil kecil sepanjang jalan seperti tangan-tangan hidup yang sengaja mencekal langkahku. Tetapi saat itulah aku benar-benar mengerti apa itu takut. Rasanya seperti di cekam kegelapan tak berujung, dikejar makhluk yang tak pernah bisa di pahami keberadaannya. Tertikam kekhawatiran, dan denyut nadi seperti di iris-iris belati, bisa mati kapan saja. Sedang di belakang kutinggalkan bayangan Bapak sendirian yang jatuh ke jurang.

Bapak adalah salah satu bagian hidupku. Sejak dulu kami bersama, tetapi hari ini aku rasa semuanya sudah berubah. Aku tak perlu lagi apa itu keluarga, aku tak ingin lagi mengenal kata pulang. Lihatlah, dunia sungguh berbeda di hari aku memutuskan pergi. Dan alasannya adalah, aku memelihara ketakutan luar biasa pada momen kematian. Hanya ada Bapak di hidupku, aku seperti dilahirkan dari rahimnya karena aku tak pernah mengenal Ibu.

Memiliki satu selalu menyebabkan kesakitan, jadi bukankah lebih baik tak memiliki sama sekali? Sejak satu persatu kematian terjadi dalam hidupku, aku tak ingin lagi mengalaminya. Jika kematian orang-orang yang tak kukenal saja membuatku di cekam kesedihan, lalu bagaimana jika suatu saat nanti Bapak yang mati? Setidaknya jika aku meninggalkannya, aku tak akan pernah menjumpai kematian itu. Dan semuanya di catat sebagai kepergian. 

Ya. 

Pergi, bukan mati. 

Tak  ada yang salah dengan kepergian. Rumah kecil itu dahulu adalah definisi pulang, sebelum semua penghuni akhirnya pergi. Dari sini pun akhirnya tempat itu hilang, ia tak betah sendiri, ia rindu pada Bapak dan aku, tetapi seabadi-abadinya jalinan tembok itu berdiri, toh ia tak akan bertahan tanpa kami.

Kenangan malam mencekam di lereng pegunungan puluhan tahun silam itu akhirnya mengantarkanku pada sebuah perjalanan. Bertahun-tahun kemudian, hingga akhirnya kujumpai kematianku sendiri, dan sampai kuburanku di penuhi rerumputan belukar.  Kisah itu mengantarkanku pada perjalanan dalam kereta ini. Oh ya, soal hari pemakamanku, aku di kubur pada hari sebuah pelangi leleh  membanjiri ladang bunga. Aku mati setelah momen itu terjadi, sayang sekali, itu sebabnya kuburanku hanya di penuhi belukar kering. 

Ini bukanlah sebuah perjalanan kembali, apalagi perjalanan pergi. Ruang di gerbong ini adalah waktu dan semua kehidupan yang ingin di kenang. Kereta ini di desain untuk mereka yang ingin terpekur mengingat hidup, meraba-raba perjalanan hidup yang pernah mereka jalani, mengantarkan pergi ke tempat yang dahulu pernah mereka singgahi. Seperti aku yang memilih mengunjungi kenangan masa lalu malam di sebuah lereng pegunungan yang mencekam. Kursi-kursi duduknya adalah jalan itu sendiri, mereka adalah makhluk-makhluk yang bisa memahami. 

Tetapi kau lihat? Orang-orang ini masih saja tertidur, termasuk aku.

"Nn. Allysa, tiketnya,"

Aku tergeragap bangun oleh suara pelan petugas tiket kereta di samping tempatku duduk. Seketika amarah terbit, mataku tajam menatap petugas itu yang masih berdiri resah. Kurogoh kasar tiket kumal dari saku baju, kulemparkan selebaran itu ke lantai  dekat ia berdiri. Habis sudah setitik kebaikan yang semula tersisa. Aku menyerapah kasar padanya dalam bahasa yang tak akan pernah bisa kau pahami. 

Kata-kata itu adalah wujud penyesalanku pada mimpi yang hilang begitu saja, erat genggamanku tak bisa membuatnya tetap tinggal. Dan petugas itu memungutnya dengan sendu, matanya dalam menatap lantai dengan sejuta perasaan bersalah. Seolah-olah tiket itu adalah sarana jalannya menuju neraka. Namun ia berlalu tanpa maaf, ya, di kereta ini kami tidak bisa saling memahami. Bahasa-bahasa lisan yang banyak menyebabkan petaka tak berlaku di sini. Kata maaf tak ada dalam sejarah kehidupan yang telah mati.

Gerakanku menyebabkan ransel yang kupeluk jatuh kelantai, isinya berhamburan. Petugas itu kembali menoleh kebelakang, hendak berbalik membantu, tetapi melihat tatapan tajamku ia akhirnya mengangguk pergi. Aku bangkit hendak memunguti barang yang tumpah itu satu-persatu.

"KRAK!"

Kuarahkan tatapanku ke bawah, sebuah pigura kaca berukuran kecil pecah, serpihan kacanya berhamburan di lantai gerbong. Kaki brengsekku ini tak sengaja menginjaknya. Ah! aku  kembali mengumpat  kesal, ini semua gara-gara petugas tiket sialan itu! Pigura ini berisi fotoku dan Bapak ketika kami masih sama-sama hidup sebagai keluarga. 

Dahulu aku tersimpan di tubuh Bapak, sebagai zat mati tetapi hidup, hingga akhirnya aku dititipkan ke rahim manusia yang disebut-sebut sebagai Ibu. Di sana aku hidup beberapa saat, dan pindah ke alam dunia namun hanya sekejap saja. Kenyataanya hubungan keluarga akan lenyap ketika kita mati, buktinya tak ada di gerbong ini yang tidak duduk sendiri. 

Tanganku pelan membenahi serakan kaca yang tercerai, akan kubuang saja ke jendela. Aku tak peduli pada siapapun di gerbong ini, kecuali seorang lelaki yang namanya kucatat dalam hati. 

Ia berjalan bersama kami semua, tujuannya sama, untuk mengenang perjalanan hidup, dalam sebuah kereta. 

Kenapa pigura ini ada dalam ransel yang kubawa? 

Ya. Aku mencurinya dari seorang lelaki yang duduk di pojok sana, ia adalah Bapakku di masa lalu. 

Kulon Progo, Januari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun