Mohon tunggu...
Dani Fazli
Dani Fazli Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis kelas bawah

Belajar menulis dari titik terendah, berproses menuju titik terbaik menurut takdir

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyoal Relevansi Pemikiran Pendidikan dan Kebudayaan George Sylvester Counts dengan Kompetensi Peserta Didik

14 Mei 2022   06:07 Diperbarui: 14 Mei 2022   06:26 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prolog permasalahan

Diskusi keterampilan dan kemampuan abad ke-21 diberbagai tingkat pendidikan dianggap penting karena perubahan keadaan kehidupan pribadi, sosial dan profesional yang dirasakan (Chalkiadaki, 2018). Mekanisme pendidikan saat ini dikembangkan dengan ide dan inovasi yang jelas dalam keterampilan akademik dan profesional terkait dengan revolusi industri. 

Pertumbuhan pengetahuan, industri, manajemen dan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah membawa dampak besar pada lembaga pendidikan, mengubah kondisi pembuat kebijakan dan pendidik dan memasukkan konsep - konsep yang terbukti dengan sendirinya seperti pengetahuan, informasi dan keterampilan (Zajda, 2010).

Sebuah negara yang berinvestasi dalam pendidikan dengan harapan akan berkontribusi pada kesejahteraan ekonomi jangka panjang dan keberlanjutan generasi. 

Aspek lain dari pendidikan yang terkait dengan masalah pembangunan manusia dan sosial menjadi penting ketika prioritas kembali relevan dengan kebutuhan masyarakat yang lebih luas dan sangat membutuhkan inovasi segera (Senge, 2010). Namun, menurut beberapa pendapat bahwasanya pendidikan lebih utilitarian daripada budaya (Hargreaves, Lieberman, Fullan & Hopkins, 2010). 

Menurut Undang - Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, pendidikan menciptakan lingkungan dan proses belajar yang mendorong peserta didik untuk secara aktif mengembangkan potensi diri, jiwa keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan kepribadian yang luhur, merupakan upaya sadar dan sistematis. melakukan. Dan keterampilan yang diperlukan, diri sendiri dan masyarakat. 

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata "didik", dengan akhiran "pe" dan akhiran "an", sehingga kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan pendidikan. Secara linguistik, pengertian pendidikan adalah proses mengubah sikap dan perilaku individu atau kelompok orang dalam rangka mendewasakan manusia melalui upaya pendidikan dan pelatihan (Normina, 2018).

Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu budhayah bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. 

Dalam Bahasa Inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam Bahasa Latin berasal dari kata colera. Kata colera adalah mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah atau bertani (Elly M. Setiadi, dkk. 2006; 27). Sedangkan dalam bahasa Belanda yaitu cultuur yang berarti segala daya dan aktivitas manusia untuk mengubah alam.

Sebuah pernyataan yang jelas tentang perlunya keterlibatan pendidik dalam menyelesaikan masalah sosial dibuat oleh George S. Counts (1889-1974) dalam "Dare the Schools Build New Social Order?" yang diterbitkan pada tahun 1932. 

Counts berusaha mengembangkan studi sosial pendidikan sebagai keseimbangan terhadap peningkatan penekanan pada studi psikologi dan anak dan untuk memajukan pemahaman pendidikan sebagai lembaga yang penting bagi reformasi sosial (Lagemann, 1992). 

Pandangannya terus relevan dengan masalah pendidikan saat ini dan pantas untuk diaplikasikan kembali. Analisis teori pendidikan Counts berguna dalam mengklarifikasi beberapa tema yang menjadi fokus utama para filsuf rekonstruksi kontroversial. Counts telah berkontribusi besar terhadap pendidikan Amerika.

Pendidikan adalah obat mutlak untuk kejahatan, perang, kemiskinan, kekayaan, ketidakadilan, pemerasan, korupsi politik, kebencian rasial, konflik kelas, atau penyakit apa pun yang dideritanya yang bisa digolongkan menjadi sebuah problematika (Counts, 1932). Rekonstruksi sosial masyarakat umumnya dapat dilakukan melalui sekolah.

Tentang Merdeka Belajar

Menyikapi kemajuan tersebut, pemerintah dan perguruan tinggi melakukan berbagai kebijakan dan kajian untuk mengidentifikasi relevansi pendidikan, pelatihan dan pendidikan di perguruan tinggi (Meke, 2022). 

Tentu saja kajian politik ini harus memperhatikan tuntutan dunia ilmu pengetahuan dan pekerjaan, serta hubungan antara kehidupan kampus dan sekolah, kehidupan sosial dan sosial budaya dalam kehidupan berbangsa serta bergenerasi (Rosmiati, Putra & Nasori, 2021).

Gambar 2. Dialog bersama Desa di Kabupaten Rejang Lebong mengenai Program Merdeka Belajar (Dokpri)
Gambar 2. Dialog bersama Desa di Kabupaten Rejang Lebong mengenai Program Merdeka Belajar (Dokpri)

Inovasi pembelajaran di era 4.0 menekankan pembelajaran pendidik terhadap metode penguasaan pada pembelajaran, aplikasi pada kelas, dan pengembangan pembelajaran yang berorientasi ke masa depan. Inovasi pembelajaran  memanfaatkan semua kemungkinan yang ada, termasuk akuisisi teknologi dan penerapannya dalam pembelajaran (Siregar, 2020). Inovasi pembelajaran pada era industri 4.0 dapat terjadi dalam berbagai cara. 

Pendidik tentunya menguasai metode pembelajaran yang selama ini digunakan, dan mampu mengadopsi serta mengembangkan metode pembelajaran yang ada dengan kreativitas sehingga menjadi unik dan menjadi langkah awal untuk dapat dilakukan dalam konteks Pembelajaran 4.0. (Joenaidy, 2019).

Kebijakan Merdeka Belajar merupakan salah satu inovasi dalam kebijakan yang digagas oleh pemerintah untuk diterapkan pada dunia pendidikan di Indonesia. 

Merdeka belajar adalah pembelajaran pendidikan yang mandiri dan multifaset yang bertujuan untuk menciptakan komunitas belajar yang tidak terbatas dan kreatif yang memenuhi kebutuhan siswa (Rochana, Darajatun & Ramdhany, 2021). Program merdeka belajar merupakan revolusi pendidikan berbasis pembangunan industri 4.0 (Syarifuddin, dkk, 2021:20). 

Kebijakan merdeka belajar diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi, khususnya Pasal 15 hingga 18. Kebebasan akademik dimaksudkan untuk mendorong siswa memiliki pengalaman belajar dengan berbagai kemampuan tambahan diluar program studi atau jurusan baik didalam ataupun diluar sekolah (Junaidi, dkk., 2020).

Dalam beberapa kesempatan, penulis melakukan studi observasi melalui wawancara secara langsung terhadap pelajar atau peserta didik yang ada di Kabupaten Rejang Lebong, hasilnya membuktikan bahwa peserta didik di Provinsi Bengkulu kurang memahami inovasi yang dihadirkan oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan Riset Teknologi yakni merdeka belajar. 

Adapun aspek yang mempengaruhinya yakni dari segi keterbukaan dan transparasi informasi dari pengajar atau tenaga pendidik, segi iklim sosial yang kurang mendukung hingga segi efektifitas pembelajaran mengingat peserta didik masih sangat sulit membagi waktunya.

Gambar 3. Penulis saat Berkunjung ke Sekolah (dokpri)
Gambar 3. Penulis saat Berkunjung ke Sekolah (dokpri)

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses Pelaksanaan Pembelajaran, yang meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pemantauan hasil pembelajaran. 

Belajar adalah proses interaksi antara pendidik dan peserta didik, agar siswa dapat berinteraksi secara optimal dengan guru dan sumber belajar lainnya untuk mencapai tujuan belajar, maka kegiatan pembelajaran perlu dikelola dengan baik. 

Manajemen pembelajaran yang dimaksud adalah teknik yang mengoptimalkan penggunaan sumber daya kelas untuk mendukung kegiatan pembelajaran yang efektif dan efisien. 

Manajemen pembelajaran juga diartikan sebagai upaya seorang pendidik untuk menciptakan, mengendalikan, dan memulihkan kondisi pembelajaran jika terjadi kerancuan atau penyimpangan untuk mengoptimalkan proses pembelajaran  (Direktorat Pembinaan SMK, 2008).

Akses dari merdeka belajar tentunya dipastikan mampu menggapai seluruh elemen diberbagai jenjang pendidikan di Indonesia. Namun faktanya, 7 dari 10 sekolah yang dijadikan sampel penulis dalam melakukan observasi belum memahami sepenuhnya konsep dari merdeka belajar, sehingga sekolah -- sekolah tersebut hanya sekedar "mengikuti" program tanpa ada optimalisasi dari kegiatan yang seyogyanya dapat berjalan efektif dan efisien.

Analisis penerapan konsep pemikiran pendidikan dan kebudayaan perspektif George S Counts pada merdeka belajar di rejang Lebong

Salah satu tragedi terbesar dari masyarakat kontemporer menurut terletak pada kenyataan bahwa anak menjadi semakin terisolasi dari kegiatan serius orang dewasa (Counts, 1932). 

Jika ditarik sebuah makna relevansi tentu hal tersebut menggambarkan bahwa peserta didik semakin terbelenggu dengan adanya aturan -- aturan otonom yang dibuat sekolah bahkan di era masuknya merdeka belajar di kalangan pendidikan Indonesia ini semakin mengkhawatirkan, pasalnya dengan sistem dan inovasi yang belum siap untuk dilaksanakan disetiap daerah dimana contohnya Kabupaten Rejang Lebong, dan diantara ketidak siapan dan kejanggalan yang terjadi terdapat oknum yang memanfaatkan situasi sehingga Merdeka Belajar dijadikan sebagai tameng untuk melakukan pembenaran terhadap berbagai hal, tentu yang sangat mengkhawatirkan adalah dimana ketika sistem pendidikan gagal membentuk dan membekali manusia baik dari segi kognitif maupun perilaku dalam menghadapi tantangan di era globalisasi.

Tujuan pendidikan yang dipahami sebagai cara untuk membebaskan atau memperbudak pikiran, adalah ekspresi dari peradaban yang dilayaninya (Gutek, 1974). 

Beriringan dengan hal tersebut, inovasi pendidikan yang dihadirkan dan dikemas dalam Merdeka Belajar memberikan berbagai ruang kreativitas untuk peserta didik dalam mengembangkan potensinya. Namun, ha tersebut kembali menuai kontraversi disaat pendidikan tidak pernah dapat menjadi proses yang sepenuhnya otonom, terlepas dari waktu, tempat, dan dilakukan sesuai dengan hukumnya sendiri.

Pendidikan sebagai kekuatan regenerasi sosial harus berbaris bersama dengan kekuatan sosial yang tersedia dan mengkreasikan tatanan sosial (Counts, 1932, p. 283). 

Melalui program merdeka belajar yang menjadi terobosan dan harapannya mampu membentuk peserta didik atau pelajar mengeksoplarasi pengalaman yang luar biasa pada laboratorium sosial yang dihadirkan oleh pemerintah. 

Namun pada faktanya, laboratorium sosial yang dihadirkan kurang dimanfaatkan secara optimal di Kabupaten Rejang Lebong, contohnya saja program pada perguruan tinggi seperti Pejuang Muda, dimana program tersebut seharusnya menjadi salah satu implementasi generasi muda dalam meningkatkan kepedulian sosial namun sangat disayangkan program tersebut hanya menjadi mata pencarian dari peserta yang mengikuti mengingat uang atau cost yang dikeluarkan negara cukup besar untuk program ini.

 Perkembangan pesat teknologi menghendaki peran optimal pendidik untuk dapat menjembatani sekolah dengan masyarakat sebagai upaya berkembangnya budi yang baik dari peserta didik. Peserta didik abad ke-21 diharapkan memiliki kompetensi pengarahan diri sendiri dan kemampuan berkolaborasi dengan individu, kelompok, dan mesin (McCoog, 2008). 

Namun dalam beberapa kesempatan pada saat melakukan observasi, penulis menemukan fakta bahwasanya di era globalisasi yang penuh kecanggihan teknologi ini, menghadirkan sosok egois dan apatis tumbuh pada naluri peserta didik, kecenderungan dalam mengerjakan berbagai tugas secara individu mengakibatkan ruang -- ruang diskusi yang seyogyanya mampu memperat silaturahmi perlahan memudar.

Setiap kemajuan teknologi menghadirkan konstruksi teoretis dan wawasan realistis dalam pengembangan dan peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap di antara siswa dan guru (Leon-Abao, Boholano, & Dayagbil, 2015). 

Namun ketergantungan teknologi tanpa adanya persiapan yang begitu matang membuat ruang atau jarak tercipta antara murid dan guru, sistem pendidikan di Kabupaten Rejang Lebong pada saat menjalankan perkuliahan daring merupakan salah satu yang paling tidak efektif di Provinsi Bengkulu. Sebab, guru yang menjalankan metode asinkron membuat banyak siswa kebingungan ditambah lagi dengan adanya program merdeka belajar yang menghilangkan beberapa aspek penting dalam sekolah contohnya yakni ujian nasional.

Program merdeka belajar tentu menjadi program unggulan yang digagas oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia, namun dalam pelaksanaannya masih sangat memerlukan perbaikan dan pembaruan dari berbagai aspek yang ada sehingga nilai -- nilai moral yang harapannya tertanam dalam peserta didik dapat terlaksana sesuai harapan. George S Count merupakan salah satu tokoh pendidikan Dunia yang pemikiran -- pemikirannya dapat dijadikan sebagai standing opinion dan referensi berpikir agar hasil yang diperoleh dari sebuah sistem dapat dioptimalkan.

Akhir dari Penulis

Permasalahan merdeka belajar tentu erat kaitannya dengan sumber daya yang tersedia, pemikiran dari George S Counts mengungkapkan ada beberapa aspek yang harus dipenuhi untuk menjawab tantangan pendidikan, memerdekakan pemikiran dari belenggu penjajahan globalisasi hingga keterbukaan akses informasi tentu masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia. 

Program merdeka belajar yang dicanangkan dan diharapkan mampu menjadi laboratorium sosial sekaligus wadah pengembangan karakter peserta didik disamping itu, optimalisasi pemakaian dan penerapan teknologi pada sektor pendidikan juga tidak lepas dari perhatian publik. 

Sekolah di Kabupaten Rejang Lebong salah satu kabupaten tertua di Provinsi Bengkulu ini tentu bisa menjadi representasi keadaan pendidikan di Provinsi Bengkulu yang masih perlu perhatian lebih.

Harapannya masyarakat dan pemerintah mampu saling membantu dan membangkitkan semangat gotong royong pasca pandemi ini, agar tercapainya apa yang diharapkan selama ini. 

Pemikiran George S Counts dijadikan sebagai titik pembanding keadaan pendidikan di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu dimana hal tersebut juga mampu menjadi salah satu referensi berpikir untuk peneliti dan penulis lainnya agar bisa membuat hipotesa pemikiran dari tokoh terkemuka yang dikomparasi dengan keadaan pendidikan yang ada.

#KampusMerdeka #KampusMengajar #UniversitasBengkulu

SUMBER REFERENSI

Chalkiadaki, A. (2018). A systematic literature review of 21st century skills and competencies in primary education. International Journal of Instruction, 11(3), 1--16. https://doi.org/10.12973/iji.2018.1131a

Counts, G. S. (1932). Dare the schools build a new social order? Illinois: Southern Illinois University Press.

Elly M. Setiadi, dkk. (2006). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana.

Gutek, G. L. (1974). Philosophical alternatives in education. Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company.

Junaidi, Aris, Dkk. (2020). Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Di Era Industri 4.0 Untuk Mendukung Merdeka Belajar-Kampus Merdeka. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan.

Joenaidy, A. M. (2019). Konsep dan Strategi Pembelajaran di Era Revolusi Industri 4.0. Yogyakarta: Laksana.

Lagemann, E. C. (1992). Prophecy or profession? George S. Counts and the social study of education. American Journal of Education, 100(2), 137--165.

Leon-Abao, E. de, Boholano, H. B., & Dayagbil, F. T. (2015). Engagement to social networking: challenges and opportunities to educators. European Scientific Journal June, 11(16), 173--191.

McCoog, I. J. (2008). 21 ST century teaching and learning. Diambil dari eric.ed.gov/PDFS/ED502607.pdf.

Meke, Konstantinus Denny Pareira, Richardo Barry Astro, and Maimunah H. Daud. (2022). Dampak Kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) pada Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan. 4.1 (2022): 675-685.

Normina, N. (2018). Pendidikan dalam Kebudayaan. ITTIHAD, 15(28), 17-28.

Rosmiati, R., Putra, I. & Ahmad Nasori, A. (2021). Pengukuran Mutu Pembelajaran Di FKIP UNJA Dalam Upaya Membangun Generasi Economic Citizen Yang Mengelaborasi Program MBKBM Kemendikbud. Edukatif : Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(6), 5256 - 5264. https://Doi.Org/10.31004/Edukatif.V3i6.1356.

Rochana, R. Darajatun, R. M. & Ramdhany, M.A. (2021). Pengaruh Implementasi Kebijakan Kampus Merdeka Terhadap Minat Dan Keterlibatan Mahasiswa. Journal Of Business Management Education. 6(3) 11-21. https://Doi.Org/10.17509/Jbme.V6i3.40165.

Siregar, N., Sahirah, R., & Harahap, A. A. (2020). Konsep Kampus Merdeka Belajar di Era Revolusi Industri 4.0. Fitrah: Journal of Islamic Education, 1(1), 141-157.

Syarifuddin, Dkk. (2021). Dosen Penggerak Dalam Era MBKM. Gorontalo: Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo.

Wahjono, S. I. (2022). Perilaku Organisasi Kontemporer. Surabaya : Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Widiyastono, M. H. (2021). Utilitarianisme dalam Praktik Kehidupan Prososial Manusia. Al-Ihath: Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, 1(1), 18-25.

Zajda, J. (Ed.). (2010). Global pedagogies schooling for the future. Global Pedagogies. Springer Dordrecht Heidelberg London New York: Springer. https://doi.org/10.1007/978-90-481-3617-9.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun