Tujuan pendidikan yang dipahami sebagai cara untuk membebaskan atau memperbudak pikiran, adalah ekspresi dari peradaban yang dilayaninya (Gutek, 1974).Â
Beriringan dengan hal tersebut, inovasi pendidikan yang dihadirkan dan dikemas dalam Merdeka Belajar memberikan berbagai ruang kreativitas untuk peserta didik dalam mengembangkan potensinya. Namun, ha tersebut kembali menuai kontraversi disaat pendidikan tidak pernah dapat menjadi proses yang sepenuhnya otonom, terlepas dari waktu, tempat, dan dilakukan sesuai dengan hukumnya sendiri.
Pendidikan sebagai kekuatan regenerasi sosial harus berbaris bersama dengan kekuatan sosial yang tersedia dan mengkreasikan tatanan sosial (Counts, 1932, p. 283).Â
Melalui program merdeka belajar yang menjadi terobosan dan harapannya mampu membentuk peserta didik atau pelajar mengeksoplarasi pengalaman yang luar biasa pada laboratorium sosial yang dihadirkan oleh pemerintah.Â
Namun pada faktanya, laboratorium sosial yang dihadirkan kurang dimanfaatkan secara optimal di Kabupaten Rejang Lebong, contohnya saja program pada perguruan tinggi seperti Pejuang Muda, dimana program tersebut seharusnya menjadi salah satu implementasi generasi muda dalam meningkatkan kepedulian sosial namun sangat disayangkan program tersebut hanya menjadi mata pencarian dari peserta yang mengikuti mengingat uang atau cost yang dikeluarkan negara cukup besar untuk program ini.
 Perkembangan pesat teknologi menghendaki peran optimal pendidik untuk dapat menjembatani sekolah dengan masyarakat sebagai upaya berkembangnya budi yang baik dari peserta didik. Peserta didik abad ke-21 diharapkan memiliki kompetensi pengarahan diri sendiri dan kemampuan berkolaborasi dengan individu, kelompok, dan mesin (McCoog, 2008).Â
Namun dalam beberapa kesempatan pada saat melakukan observasi, penulis menemukan fakta bahwasanya di era globalisasi yang penuh kecanggihan teknologi ini, menghadirkan sosok egois dan apatis tumbuh pada naluri peserta didik, kecenderungan dalam mengerjakan berbagai tugas secara individu mengakibatkan ruang -- ruang diskusi yang seyogyanya mampu memperat silaturahmi perlahan memudar.
Setiap kemajuan teknologi menghadirkan konstruksi teoretis dan wawasan realistis dalam pengembangan dan peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap di antara siswa dan guru (Leon-Abao, Boholano, & Dayagbil, 2015).Â
Namun ketergantungan teknologi tanpa adanya persiapan yang begitu matang membuat ruang atau jarak tercipta antara murid dan guru, sistem pendidikan di Kabupaten Rejang Lebong pada saat menjalankan perkuliahan daring merupakan salah satu yang paling tidak efektif di Provinsi Bengkulu. Sebab, guru yang menjalankan metode asinkron membuat banyak siswa kebingungan ditambah lagi dengan adanya program merdeka belajar yang menghilangkan beberapa aspek penting dalam sekolah contohnya yakni ujian nasional.
Program merdeka belajar tentu menjadi program unggulan yang digagas oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia, namun dalam pelaksanaannya masih sangat memerlukan perbaikan dan pembaruan dari berbagai aspek yang ada sehingga nilai -- nilai moral yang harapannya tertanam dalam peserta didik dapat terlaksana sesuai harapan. George S Count merupakan salah satu tokoh pendidikan Dunia yang pemikiran -- pemikirannya dapat dijadikan sebagai standing opinion dan referensi berpikir agar hasil yang diperoleh dari sebuah sistem dapat dioptimalkan.
Akhir dari Penulis