Bagian Pertama : Masa SMA
Saya akan memulai kisah ini dari kelas 2 SMA. Saat itu, saya tergabung di sebuah ekstrakurikuler jurnalistik sekolah. Tidak jauh berbeda dengan ekskul jurnalistik SMA pada umumnya, kami juga membuat mading atau majalah sekolah kala itu. Kami juga diajarkan dasar-dasar wawancara serta menulis berita.
Jujur, saat awal masuk SMA sejatinya saya tidak suka-suka amat dengan dunia jurnalistik. Saya tidak terlalu sering melihat berita televisi, pun membaca berita daring. Namun, saya punya satu kebiasaan yang nampaknya sudah jarang dimiliki generasi seusia saya, yakni membeli surat kabar. Biasanya,saya membelinya saat hendak berangkat sekolah. Mungkin ini awal jalan saya masuk ke dunia jurnalistik.
Setelah masuk ke ekskul jurnalistik ini, saya merasakan kenyamanan dan antusiasme. Saya merasa bersemangat setiap melakukan liputan. Saya selalu suka ketika mewawancara orang meski sering deg-degan. Â Saya lalu berpikir, apakah memang jurnalistik adalah jalan hidup saya?
Dari yang awalnya sekadar iseng, guru pembimbing saya lalu memberikan banyak kesempatan untuk berkembang. Terima kasih kepada Bu Rina yang telah mengenalkan saya dengan dunia pers. Saya masih ingat, saya pernah ditugaskan untuk ikut pelatihan penulisan esai dan artikel di Balai Bahasa Yogyakarta. Momen itu menjadi salah satu saat di mana tulisan saya dibukukan, senang sekali rasanya.
Saya dan tim juga pernah menulis untuk rubrik Putih Abu-Abu di Tribun Jogja. Di sinilah saya menjadi tahu untuk pertama kalinya bagaimana suasana ruang redaksi. Waktu itu kami dibimbing oleh Mas Wahyu dan Pak Ribut selaku Pimpinan Redaksi Tribun Jogja.
Yang paling membekas, saya direkomendasikan untuk menjadi reporter di Rubrik Kaca Surat Kabar Kedaulatan Rakyat. Menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi saya pernah menjadi bagian dari Kedaulatan Rakyat, surat kabar legendaris di Yogyakarta dan Jawa Tengah, di usia yang saat itu masih 16 tahun. Saya bertemu dengan Bu Atiek, mentor saya yang beberapa kali juga masih sering berkontak. Saya juga bertemu dengan Tatan, yang kelak akan menjadi adik tingkat saya di Teras Pers. Dunia memang kadang terasa sempit.
Maka di kelas dua ini, saya mencari program studi apa yang menawarkan jurnalistik di dalamnya. Saya lalu menemukan prodi Ilmu Komunikasi. Mulai dari sana, saya hanya ingin masuk ke Ilmu Komunikasi, tidak yang lain.
Bagian Kedua : Teras Pers
Beruntung bahwa saya berhasil mendapatkan program studi ini meskipun dengan drama menolak salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di Indonesia. Kapan-kapan saya akan ceritakan mengenai hal ini. Â
Saya berhasil masuk di program studi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, sebuah kampus yang dulu saya pikir tidak akan bisa saya masuki karena biayanya. Namun, rencana Tuhan sering tidak bisa diduga.
Di Ilkom UAJY, kami memiliki Kelompok Profesi Konsentrasi Studi (KPKS). Mudahnya, KPKS ini adalah semacam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Â yang fokus pada kemampuan khusus di tiap program studi. Ada KPKS tentang periklanan, kehumasan, broadcasting, radio, dan tentu saja jurnalistik.
KPKS yang fokus di bidang jurnalistik ini diberi nama Teras Pers. Saat awal masuk, saya tidak sempat mencari tahu bagaimana rekap perjalanan Teras Pers dsb. Kala itu, saya hanya ingin belajar dan tahu lebih dalam tentang dunia jurnalistik.
Maka, dengan keyakinan penuh, saya mendaftar di Teras Pers. Kebetulan, beberapa teman saya juga ikut mendaftar. Proses seleksi waktu itu mengharuskan kami untuk membuat satu liputan mengenai kafe-kafe yang ada di Yogyakarta. Saya lalu meliput De Travail Coffee, yang waktu itu masih berlokasi di seberang UPN Kampus 1. Itulah liputan pertama saya di Teras Pers.
Setelah resmi diterima, saya resmi juga masuk dalam dunia Pers Mahasiswa. Saya menjadikan Teras Pers sebagai tonggak kedua perjalanan saya di dunia jurnalistik. Untuk merealisasikan mimpi ini, saya masuk di divisi reporter kala itu.
Liputan kedua saya adalah meliput marching band UAJY yang kala itu berlaga di Hamengkubuwono Cup.  Saya meliput bersama tiga teman yang dua diantaranya bahkan belum bertemu sama sekali. Kami langsung bertemu on the spot di GOR Amongrogo.
Di tahun pertama ini, liputan paling menantang adalah saat meliput mengenai aksi Gejayan Memanggil. Kala itu, saya bertugas melakukan wawancara terhadap Rektor dan Wakil Rektor UAJY mengenai tanggapan kampus terhadap isu ini. Ini adalah liputan yang sangat menantang karena langsung mewawancara pimpinan tertinggi universitas dengan isu yang cukup sensitif.
Saya sempat melakukan blunder. Karena waktu itu sedang banyak kegiatan, persiapan yang dilakukan juga tergolong minim. Saya tidak tahu bahwa sudah ada surat yang dikeluarkan beberapa hari sebelum saya melakukan liputan. Pengalaman ini sangat berarti dan mendorong saya untuk melakukan riset yang lebih dalam sebelum melakukan wawancara.
Lalu, datanglah pandemi Covid-19 yang mengubah segalanya.
Pandemi hadir tepat di akhir tahun pertama saya di Teras Pers. Panik? Pasti. Bingung? Jelas. Rasanya tidak hanya kami, tetapi satu Indonesia bahkan dunia geger gedhen kala itu.
Kekagetan ini menyebabkan produksi konten menjadi tidak maksimal. Komunikasi berubah drastis menjadi daring secara penuh. Liputan ditangguhkan.
Kondisi yang ternyata berlangsung lama ini akhirnya merembet ke tahun kedua saya di Teras Pers. Kala itu, saya dipercaya oleh teman-teman menjadi Pimpinan Redaksi. Masa ini menjadi suatu pengalaman yang melelahkan tapi berharga.
Di satu sisi, ada satu kebanggan tersendiri bagi saya dengan menjadi Pimred. Ia adalah jabatan tertinggi dalam suatu organisasi pers. Namun, seperti kata Uncle Ben, "great power comes with great responsibility". Â Ditambah, memimpin di masa transisi selalu menyimpan tantangannya sendiri.
Bersyukur, saya dikelilingi oleh orang-orang hebat. Waktu itu, kami berlima merevolusi total Teras Pers.
Perkembangan digital yang amat pesat membuat kami mau tidak mau harus membawa Teras juga ke ranah digital. Sebelum ini, Teras hanya membuat produk cetak dan minim produk digital. Kami mengubah itu dan menjadikan semua produk Teras berbasis digital.
Caranya dengan, pertama, mengaktifkan media sosial Teras Pers, dalam hal ini Instagram. Kami rutin membuat konten agar lebih banyak pembaca yang datang dan mengenal Teras. Kedua, kami membuat situs web yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah Teras Pers. Ini keputusan yang nekat karena kami tidak punya sumber daya manusia yang secara khusus paham mengenai teknis pengelolaan web. "Yang penting ada dulu," pikir kami waktu itu.
Sederet perubahan ini membawa dampak yang signifikan. Banyak pembaca baik dari UAJY maupun LPM lain yang datang dan mengenal Teras Pers. Kami juga banyak menjalin relasi dengan mereka. Para dosen juga lebih memperhatikan Teras Pers daripada sebelumnya. Semua ini adalah hasil kerja keras kami dan kenekatan untuk mencoba hal yang belum pernah ada sebelumnya.
Di sinilah saya mulai memegang prinsip, " Yang penting dicoba saja dulu, gagal atau sukses itu urusan belakangan."Â
Lebih baik gagal daripada menyesal karena tidak mencoba.
Teras Pers memberikan warna baru dalam kehidupan saya. Dari membangun organisasi inilah saya belajar banyak hal, tentang keorganisasian, leadership, time management, komunikasi krisis, dan masih banyak lainnya. Dari Teras jugalah, perjalanan ke wadah yang lebih luas dimulai.
Bagian Ketiga : PPMI Yogyakarta
Teras Pers membuat saya mengenal Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Yogyakarta, sebuah wadah perkumpulan bagi pers mahasiswa se-Yogyakarta. Saya pertama kali mengenal PPMI ketika ditugaskan mengikuti workshop mengenai penulisan digital di BATAN. Ketika itu, saya baru tahu bahwa ada suatu lembaga bernama PPMI.
Seiring berjalannya waktu, saya kian dekat mengenal PPMI. Beberapa kali saya mengikuti rapat yang diagendakan oleh mereka. Saya pun mulai mengenal beberapa personil dari lembaga pers mahasiswa lain di Kota Gudeg ini.
Puncaknya, saya dan dua rekan saya waktu itu mengikuti Musyawarah Kota. Ini adalah acara rutin tahunan untuk membahas AD/ART PPMI dan pemilihan sekretaris jenderal baru. Di sinilah drama besar dimulai.
Drama ini terjadi ketika pemilihan sekretaris jenderal. Setelah melalui serangkaian drama yang bahkan terjadi hingga dua minggu, rekan dekat saya terpilih menjadi sekretaris jenderal. Maka, saya juga otomatis tergabung di organisasi ini. Saya menjadi staf di Divisi Media yang mengurusi media sosial, situs web, dan konten-konten yang dibuat oleh PPMI.
Kadang saya berpikir apakah saya memang diharuskan menghadapi situasi revolusi. Di PPMI, kami memulai sebuah era baru, menghidupkan kembali sinar Persma Jogja yang sempat meredup. Kami juga membangun ekosistem dan jaringan kembali serta mengaktifkan LPM-LPM Â yang mati segan hidup tak mau.
Dari PPMI inilah, saya tidak lagi hanya mengenal rekan-rekan Persma Jogja, tetapi  mulai mengenal rekan-rekan Persma di tingkat nasional. Saya juga mulai menjalin jejaring dengan rekan-rekan jurnalis maupun aktivis. Harapannya, jaringan inilah yang akan berguna bagi saya dalam menapaki industri media ke depan.
Saat ini, kami dari PPMI sedang bersiap untuk menggarap proyek akbar Musyawarah Kerja Nasional di akhir Februari besok. Meski dengan persiapan yang amat mepet dan tantangan Omicron yang kian tak terkendali, semoga semuanya dapat berjalan dengan lancar.
Bagian Empat : Epilog
Itu tadi kisah perjalanan saya di dunia jurnalistik, mulai dari SMA hingga di pertengahan kuliah ini. Saya sungguh bersyukur dapat berkecimpung di dunia yang saya sukai.
Perjalanan masih panjang, masih banyak hal yang perlu dikembangkan dan diusahakan. Wadah yang lebih luas telah menanti di luar sana.
Untuk rekan-rekan sesama Pers Mahasiswa atau rekan-rekan jurnalis yang membaca tulisan ini, saya sangat terbuka untuk berdiskusi dan berjejaring. Silakan tinggalkan jejak di kolom komentar.
Salam hangat dari saya, Daniel Kalis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H