Yogyakarta terkenal dengan wilayah yang memiliki beragam budaya, salah satunya adalah Saparan Bekakak yang merupakan upacara adat masyarakat di wilayah Ambarketawang, Gamping, Sleman. Acara ini disebut ‘saparan’ karena pelaksanaannya yang selalu dilakukan pada bulan Sapar dalam kalender Jawa.
Saparan Bekakak merupakan salah satu identitas budaya masyarakat Gamping. Fong menjelaskan identitas budaya sebagai:
identifikasi komunikasi dan sistem perilaku simbolis verbal dan non-verbal yang memiliki arti dan yang dibagikan di antara anggota kelompok yang memiliki rasa saling memiliki dan yang membagi tradisi, warisan, bahasa, dan norma-norma yang sama. Identitas budaya merupakan konstruksi sosial (Fong dalam Samovar, 2014)
Dari definisi di atas, kata kunci yang perlu kita tekankan di sini yakni tradisi, warisan, dan konstruksi sosial. Saparan Bekakak merupakan sebuah upacara adat yang dilakukan secara turun temurun. Awal mula diadakannya upacara ini tidak bisa kita lepaskan dari sejarah mengenai Gunung Gamping dan Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Sejarah Saparan Bekakak
Dilansir dari Liputan 6, pada sekitaran tahun 1755, Sri Sultan Hamengkubuwono I yang bergelar Pangeran Mangkubumi sedang membangun Keraton yang berada di daerah kotamadya. Sembari mengawasi dan menunggu pembangunan Keraton, Pangeran Mangkubumi beserta keluarganya tinggal untuk sementara waktu di Pesanggrahan Ambarketawang bersama abdi kinasih (abdi yang setia) yakni Kyai dan Nyai Wirasuta. Bagi yang belum tahu, Pesanggrahan Ambarketawang letaknya bersebelahan dengan Gunung Gamping yang merupakan pegunungan batu kapur. Banyak masyarakat sekitar sana yang berprofesi sebagai pengumpul batu kapur.
Setelah pembangunan Keraton selesai, Pangeran Mangkubumi beserta keluarga dan abdi dalem Keraton hendak kembali ke kota. Kyai dan Nyai Wirasuta memutuskan tidak ikut dan tetap tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang.
Namun, sebuah malapetaka terjadi pada Jumat Kliwon di bulan Sapar. Gunung Gamping yang merupakan tempat tinggal bagi Kyai dan Nyai Wirasuta runtuh dan menewaskan mereka berdua. Kabar ini pun kemudian sampai ke telinga Sri Sultan yang langsung memerintahkan para prajuritnya untuk menggali reruntuhan dan mencari jasad kedua abdi kinasih ini. Anehnya, jasad mereka tidak pernah ditemukan. Masyarakat Gamping percaya bahwa Kyai dan Nyai Wirasuta moksa dan masih tinggal di Gunung Gamping hingga saat ini.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat setempat diresahkan dengan terus adanya pekerja yang tertimbun reruntuhan gunung setiap bulan Sapar. Melihat kondisi ini, Sri Sultan melakukan pertapaan di Gunung Gamping.
Dari pertapaan itu, beliau mendapat wisik atau bisikan dari Setan Bekasakan (penunggu Gunung Gamping) untuk mengorbankan sepasang pengantin setiap tahun sebagai imbal balik atas penggalian batu kapur yang dilakukan di wilayah tersebut. Namun, Sultan mengakali hal ini dengan membuat sepasang boneka pengantin dari tepung ketan dan sirup gula merah yang ternyata berhasil. Sejak saat itulah, upacara Saparan Bekakak rutin dilaksanakan setiap tahunnya di Desa Ambarketawang.
Jadi, seperti definisi dari Fong di atas, ritual ini bisa disebut sebagai identitas budaya karena termasuk sebagai identifikasi komunikasi dan simbol perilaku verbal dan non verbal yang berasal dari tradisi dan warisan yang sama. Upacara ini juga merupakan hasil konstruksi sosial yang terus menerus dilestarikan oleh masyarakat setempat.
Klasifikasi Identitas
Samovar (2014) mengklasifikasikan identitas menjadi delapan yakni: (1) identitas rasial, (2) identitas etnis, (3) identitas gender, (4) identitas nasional, (5) identitas regional, (6) identitas organisasi, (7) identitas pribadi, dan (8) identitas dunia maya/khayalan. Dalam konteks Saparan Bekakak, upacara adat ini termasuk dalam identitas regional.
Setiap negara dapat dibagi dalam sejumlah daerah geografis yang berbeda. Tiap daerah ini terkadang mencerminkan ciri budaya yang berbeda. Perbedaan budaya ini termanifestasi dalam adat, makanan, aksen, dialek, etnis, bahasa, pakaian atau warisan sejarah, dan politik yang berbeda (Samovar, 2014:191). Penduduk di daerah tersebut menggunakan satu atau lebih karakteristik untuk menunjukkan identitas regional mereka.
Desa Ambarketawang sebagai tempat berlangsungnya prosesi ini berada di Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan satu dari 33 provinsi yanga ada di Indonesia. Sesuai dengan definisi mengenai identitas regional di atas, Saparan Bekakak memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia.
Mari kita mulai dari konsep utama prosesi ini yang berupa penyembelihan sepasang boneka pengantin. Sepengetahuan penulis, belum ada tradisi lain di Indonesia yang seperti ini. Kekhasan inilah yang kemudian menjadi daya tarik masyarakat untuk menonton secara langsung.
Tahap-tahap prosesi ritualnya pun sangat kental dengan nuansa budaya Jawa. Selama proses pembuatan boneka, wajib diiringi dengan iringan gejog lesung yang mendengdangkan tembang pernikahan. Setelah semua perlengkapan siap, upacara ini diawali dengan proses pengambilan air suci Tirto Donojati. Boneka ini pada malam harinya dibawa ke balai pertemuan untuk proses midodareni seperti pengantin Jawa pada umumnya. Saat diarak ke Gunung Gamping diadakan pementasan “Prasetyaning Sang Abdi” yang mengisahkan mengenai Ki Wirosuto. Setelah disembelih, pihak Keraton membagikan isi gunungan dan potongan tubuh bekakak pada warga yang hadir, mirip seperti prosesi “Gunungan” di Keraton.
Dari paparan di atas, kiranya jelas bahwa Saparan Bekakak memenuhi ciri-ciri untuk disebut sebagai identitas regional masyarakat DIY, secara khusus bagi masyarakat di Desa Ambarketawang.
Saparan Bekakak dan Tuduhan Kemusyrikan Budaya Jawa
Samovar (2014) menyebutkan empat sisi gelap identitas yakni steretotip, prasangka, rasisme, dan etnosentrisme. Pada bagian ini, penulis akan membahas prasangka yang kerap dilekatkan pada budaya Jawa dan bagaimana seharusnya kita bertindak untuk merespon hal ini.
Prasangka merupakan generalisasi kaku dan menyakitkan mengenai sekelompok orang (Macionis dalam Samovar, 2014). Prasangka menyakitkan adalah prasangka yang memiliki sikap tidak fleksibel dan didasarkan atas bukti yang sangat minim atau malah tidak ada sama sekali. Ruscher dalam Samovar (2014) menjelaskan bahwa perasaan serta perilaku negatif kepada sasaran prasangka dapat ditunjukkan lewat penggunaan label, humor permusuhan, atau pidato yang menyatakan superioritas suatu kelompok terhadap yang lain.
Kita mungkin masih ingat mengenai pengrusakan lokasi tradisi sedekah laut di Bantul oleh sekelompok orang dari agama tertentu pada tahun 2018 yang lalu. Mereka menganggap tradisi tersebut sebagai musyrik. Hal ini merupakan prasangka menyakitkan karena tuduhan yang diberikan nyaris tanpa bukti dan memiliki sikap yang tidak fleksibel. Dalam konteks ini, penggunaan prasangka yang diberikan adalah lewat penggunaan label musyrik.
Meski tidak secara langsung menyinggung mengenai ritual Saparan Bekakak, tetapi hal ini perlu menjadi perhatian karena bisa saja suatu saat nanti terulang kembali. Hal ini mengingat antara ritual sedekah laut dan Saparan Bekakak memiliki prosesi yang sangat berpotensi dituduh musyrik. Lalu bagaimana cara kita menyikapi hal ini?
Sebagai warga negara Indonesia yang memiliki beragam budaya, maka toleransi adalah hal yang wajib terus menerus digaungkan. Keanekaragaman budaya lokal seperti Saparan Bekakak dengan segala filosofi yang terkandung di dalamnya harus terus kita jaga dan lestarikan agar tidak lekang oleh waktu dan dapat dinikmati hingga anak cucu kita kelak.
Salam hangat
Sumber:
Aflaklah, M.S. (2016, Desember 22). Begini Kisah di Balik Upacara Bekakak Yogyakarta. Diakses pada 15 Desember 2020 dari sini
Pertana, P.R. (2018, Oktober 15). Mereka yang Mengecam Pembubaran Tradisi Sedekah Laut di Bantul. Diakses pada 15 Desember 2020 dari sini
Samovar, Larry A., et al. Komunikasi Lintas Budaya. Salemba Humanika, 2014.
Sutriningsih, Elisabeth. (2013, Desember 22). Bekakak, Ritual Masyarakat di Ambarketawang, Jogja. Diakses pada 15 Desember 2020 dari sini
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI