Jadi, seperti definisi dari Fong di atas, ritual ini bisa disebut sebagai identitas budaya karena termasuk sebagai identifikasi komunikasi dan simbol perilaku verbal dan non verbal yang berasal dari tradisi dan warisan yang sama. Upacara ini juga merupakan hasil konstruksi sosial yang terus menerus dilestarikan oleh masyarakat setempat.
Klasifikasi Identitas
Samovar (2014) mengklasifikasikan identitas menjadi delapan yakni: (1) identitas rasial, (2) identitas etnis, (3) identitas gender, (4) identitas nasional, (5) identitas regional, (6) identitas organisasi, (7) identitas pribadi, dan (8) identitas dunia maya/khayalan. Dalam konteks Saparan Bekakak, upacara adat ini termasuk dalam identitas regional.
Setiap negara dapat dibagi dalam sejumlah daerah geografis yang berbeda. Tiap daerah ini terkadang mencerminkan ciri budaya yang berbeda. Perbedaan budaya ini termanifestasi dalam adat, makanan, aksen, dialek, etnis, bahasa, pakaian atau warisan sejarah, dan politik yang berbeda (Samovar, 2014:191). Penduduk di daerah tersebut menggunakan satu atau lebih karakteristik untuk menunjukkan identitas regional mereka.
Desa Ambarketawang sebagai tempat berlangsungnya prosesi ini berada di Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan satu dari 33 provinsi yanga ada di Indonesia. Sesuai dengan definisi mengenai identitas regional di atas, Saparan Bekakak memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia.
Mari kita mulai dari konsep utama prosesi ini yang berupa penyembelihan sepasang boneka pengantin. Sepengetahuan penulis, belum ada tradisi lain di Indonesia yang seperti ini. Kekhasan inilah yang kemudian menjadi daya tarik masyarakat untuk menonton secara langsung.
Tahap-tahap prosesi ritualnya pun sangat kental dengan nuansa budaya Jawa. Selama proses pembuatan boneka, wajib diiringi dengan iringan gejog lesung yang mendengdangkan tembang pernikahan. Setelah semua perlengkapan siap, upacara ini diawali dengan proses pengambilan air suci Tirto Donojati. Boneka ini pada malam harinya dibawa ke balai pertemuan untuk proses midodareni seperti pengantin Jawa pada umumnya. Saat diarak ke Gunung Gamping diadakan pementasan “Prasetyaning Sang Abdi” yang mengisahkan mengenai Ki Wirosuto. Setelah disembelih, pihak Keraton membagikan isi gunungan dan potongan tubuh bekakak pada warga yang hadir, mirip seperti prosesi “Gunungan” di Keraton.
Dari paparan di atas, kiranya jelas bahwa Saparan Bekakak memenuhi ciri-ciri untuk disebut sebagai identitas regional masyarakat DIY, secara khusus bagi masyarakat di Desa Ambarketawang.
Saparan Bekakak dan Tuduhan Kemusyrikan Budaya Jawa
Samovar (2014) menyebutkan empat sisi gelap identitas yakni steretotip, prasangka, rasisme, dan etnosentrisme. Pada bagian ini, penulis akan membahas prasangka yang kerap dilekatkan pada budaya Jawa dan bagaimana seharusnya kita bertindak untuk merespon hal ini.
Prasangka merupakan generalisasi kaku dan menyakitkan mengenai sekelompok orang (Macionis dalam Samovar, 2014). Prasangka menyakitkan adalah prasangka yang memiliki sikap tidak fleksibel dan didasarkan atas bukti yang sangat minim atau malah tidak ada sama sekali. Ruscher dalam Samovar (2014) menjelaskan bahwa perasaan serta perilaku negatif kepada sasaran prasangka dapat ditunjukkan lewat penggunaan label, humor permusuhan, atau pidato yang menyatakan superioritas suatu kelompok terhadap yang lain.