Seperti Anies Baswedan sendiri yang menilai dirinya terlalu tinggi, demikian juga beberapa tokoh partai politik pengusung Anies sebagai capres. Mereka menilai Anies terlalu tinggi jauh melampui nilai sebenarnya.
Sehingga bisa-bisanya mereka menawarkan tokoh-tokoh yang jauh lebih bernilai tinggi daripada Anies untuk menjadi  cawapres-nya. Ironisnya bersamaan dengan itu sama saja dengan mereka tidak menganggap Ketua Umum Partai Demokrat -- salah satu parpol koalisi mereka sendiri (Koalisi Perubahan), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang begitu tinggi hasratnya untuk diusung sebagai cawapres-nya Anies. Â
Tak dapat dipungkiri niat utama Partai Demokrat bergabung dengan Koalisi Perubahan tak lain tak bukan adalah agar AHY  diusung sebagai  cawapres-nya Anies. Sayangnya, niat itu belum bersambut. Hal tersebut terlihat nyata dari NasDem dan PKS yang justru masih terus melobi tokoh-tokoh lain agar bersedia menjadi pendamping Anies. Ironisnya faktor cawapres ini pula yang menjadi faktor rapuhnya Koalisi Perubahan. Â
NasDem dan PKS pernah memberi syarat kepada Partai Gerindra untuk bergabung di Koalisi Perubahan dengan syarat Anies tetap bakal capres, sedangkan Prabowo, jika mau, boleh menjadi bakal cawapres-nya Anies. Padahal Gerindra sendiri tidak pernah berkeinginan untuk bergabung. Persyaratan Prabowo hanya boleh menjadi  cawapres-nya Anies seolah-olah ingin menghina Prabowo, karena dalam amanat rapimnas Gerindra sudah menetapkan Prabowo sebagai capres dari partai tersebut. Secara senioritas, pengalaman, dan nilai, Prabowo jauh di atas Anies.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan juga pernah ditawari menjadi cawapres-nya Anies. Yang langsung ditolak. Padahal Luhut-lah yang lebih pantas menjadi presiden daripada Anies. Jika pun Luhut bersedia, ia lebih cocok menjadi cawapres tokoh lain. Bukan Anies. Â
Terbaru, pada Sabtu lalu (15/4/2023), Presiden PKS Ahmad Syaikhu, berkunjungi ke Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Pada kunjungan tersebut Mahfud pun dilobi agar bersedia menjadi cawapres-nya Anies.
Padahal, dibandingkan Mahfud yang sudah kenyang dengan pengalamannya di bidang politik, keamanan, dan hukum, serta pemerintahan, Anies tidak ada apa-apanya. Mahfud sudah sangat matang dan teruji dapat menyelesaikan berbagai kasus besar negara terkait politik, keamanan, dan hukum.
Sebaliknya selama menjadi Gubernur DKI Jakarta melalui politik identitasnya yang paling destruktif sepanjang sejarah, Anies gagal dalam mengurus Provinsi DKI Jakarta. Berbagai masalah daerah DKI Jakarta tidak dapat ia selesaikan. Sebaliknya, ia menambah dan mewariskan berbagai masalah baru.
Mahfud pun menolak secara halus dengan menasihati Presiden PKS itu, agar koalisi mereka jangan mencari cawapres dari luar koalisi, sebab akan menyebabkan perpecahan. Â
Tampaknya perpecahan itu yang bakal terjadi.
Partai Demokrat tak akan mundur selangkah pun seturut dengan ambisi besar AHY untuk menjadi cawapres-nya Anies. Jika bukan AHY, Demokrat akan mundur seribu langkah meninggalkan Koalisi Perubahan.
Setelah hasrat besar untuk maju sebagai capres tidak bisa didapat, AHY pun terpaksa menurunkan ambisinya dengan hanya menjadi cawapres. Yaitu cawapres-nya Anies. Maka itulah ia membawa Demokrat -- tentu dengan restu sang ayah, SBY, untuk berkoalisi dengan NasDem dan PKS. Karena hanya itulah satu-satunya jalan ambisinya itu bisa terwujud. Â
Sayangnya dengan cara itu pun AHY berpotensi gagal. Pasalnya sampai saat ini NasDem dan PKS belum ikhlas dengan AHY. Terbukti dengan seperti yang saya sebutkan di atas, kedua parpol ini justru mencari pasangan Anies di luar parpol koalisi. Seolah-olah tidak ada AHY. Bagi PKS sendiri bila tidak ada cawapres dari luar koalisi, maka mereka lebih menghendaki kadernya sendiri sebagai pendamping Anies, yaitu Ahmad Heriyawan (Aher), mantan Gubernur Jawa Barat. Â
Padahal tiga parpol di Koalisi Perubahan itu sangat saling tergantung. Satu saja di antara mereka keluar dari koalisi, maka bubarlah koalisi tersebut. Karena tidak memenuhi ambang batas presiden (presdiential threshold). Ambang batas presiden berdasarkan UU Pemilu ditetapkan sebesar 20 persen dari jumlah kursi DPR, atau 25 persen dari suara sah nasional. Â
Demokrat yang mendengar PKS menawari Mahfud MD sebagai calon pendamping Anies tentu saja tidak menerimanya. Ketua Bappilu Partai Demokrat Andi Arief mengatakan, PKS Â jangan seperti toko kelontong yang menawari pendamping Anies sampai ke semua tokoh. Sebelumnya, diketahui PKS juga pernah menawari Sandiaga Uno posisi yang sama. Padahal, sesungguhnya yang tidak bisa diterima oleh Demokrat adalah, ada AHY, koq PKS menawari ke beberapa tokoh lain.
NasDem membutuhkan Demokrat untuk kecukupan ambang batas presiden, tetapi tidak untuk AHY sebagai cawapres. Penyebabnya antara lain karena karena blunder AHY sendiri, yang dianggap justru bisa merugikan koalisi dan NasDem sendiri.
AHY yang tidak pernah menjadi bupati/wali kota, gubernur, anggota DPR, maupun menteri, langsung ingin menjadi presiden, kemudian turun menjadi wakil presiden, itu  mungkin karena kurang pengalaman politiknya, justru membuat blunder dalam  Koalisi Perubahan. Â
Bermaksud ingin mengambil hati Anies "sebagai antitesa  dari Jokowi", AHY paling rajin terus me-nyinyir dan mengkritik berbagai kebijakan Jokowi.  Hal itu malah justru menjadi kontraproduktif. Ia lupa di Pilpres 2014 dan 2019 NasDem adalah salah satu pengusung utama Jokowi. Dan di Pemiu 2014 dan 2019 banyak pemilih memilih NasDem karena faktor Jokowi. Jumlahnya signifikan.
NasDem sangat diuntungkan dengan ikut mengusung Jokowi di kedua Pilpres tersebut. Efek ekor jas benar-benar mereka rasakan dengan perolehan suara yang naik sampai hampir 9 persen.
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh juga beberapakali  menegaskan bahwa NasDem tetap konsisten mendukung (semua kebijakan) Presiden Jokowi terus sampai dengan habis jabatannya. Ketika  salah satu petinggi NasDem, Zulfan Lindan menyatakan Anies adalah antitesa Jokowi, Surya Paloh marah, dan langsung memecatnya dari pengurus DPP NasDem. AHY yang belum paham, justru terus-menerus nyinyiran hampir semua kebijakan Jokowi. Hal tersebut tentu tak berkenan di hati Surya Paloh. Sikap AHY itu dinilai berisiko tinggi menurunkan elektabilitas Partai NasDem, dan merugikan Koalisi Perubahan.
Sementara itu efek ekor jas yang diharapkan dari mengusung Anies tak terjadi. Berdasarkan berbagai hasil survei. Dalam berbagai hasil survei terbaru akhir-akhir ini elektabilitas Anies stagnan, cenderung menurun. Lebih parah lagi NasDem sendiri, elektabilitasnya justru  menurun. Â
Kini, Surya Paloh mungkin berpikir, benar apa yang pernah dikatakan Jokowi. Jangan tergesa-gesa mengusung capres. Hendaklah mengusung capres yang  berkualitas dan berkompeten, adalah benar. Anies,  tidak akan menguntungkan NasDem dengan keuntungan dari faktor ekor jas, melainkan sebaliknya. Justru berpotensi menurunkan elektabilitas. Belum lagi faktor AHY yang ngotot ingin Koalisi mengusungnya sebagai cawapres-nya Anies. Sementara itu manuver-manuver politiknya blunder dan tidak menguntungkan.
Diduga itulah sebabnya, meskipun sebagai parpol pelopor pengusung Anies Baswedan, saat Demokrat ikut mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal capres, pada 3 Maret 2023, Surya Paloh tidak hadir.  Demikian juga saat PKS mendeklarasikan Anies sebagai  capres, pada 23 Februari 2023.
Bisa-bisa mengusung Anies, apalagi ditambah AHY, apa yang diprediksi oleh para pengamat politik bisa benar-benar terjadi. Yaitu, pada Pemilu 2024 kelak, NasDem terpuruk sampai ambang batas parlemen pun tidak  tercapai. Di bawah 4 persen. Maka, NasDem berpotensi menjadi parpol nonparlemen! (Baca: Anies Baswedan Terancam Kalah Sebelum Bertarung; NasDem Terancam Menjadi Parpol Nonparlemen).
Bahkan Ketua Majelis Syura Partai Ummat Amien Rais, tokoh sepuh yang sejak Pilgub DKI Jakarta 2027 selalu mendukung Anies, melihat perkembangan Koalisi Perubahan dan dinamika politik akhir-akhir ini, pun mulai apatis Anies bakal bisa nyapres di Pilpres 2024. Ia pun berujar, jika Anies sampai gagal mendapat tiket capres. Maka ia akan beralih mendukung Prabowo sebagai calon presiden. Belum ada penjelasannya, bagaimana jika Prabowo juga gagal.
Bila kecenderungan itu semakin kuat, NasDem pasti segera mencari selamat. Surya Paloh kemungkinan besar akan memutuskan NasDem batal mengusung Anies. Keluar dari Koalisi Perubahan. NasDem akan memilih  bergabung dengan koalisi lain, seperti Koalisi Indonesia Bersatu, yang lebih prospektif. Atau kalau bisa diterima Megawati, lebih baik bergabung dengan PDIP. Ikut mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres.
Jika itu sampai terjadi bubarlah Koalisi Perubahan. Bubarnya Koalisi Perubahan sama saja batalnya Anies mendapat tiket capres. AHY gagal menjadi cawapres. Anies gigit jari, mungkin akan mengalami depresi berat. Demikian juga AHY. (dht)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H