Partai Demokrat tak akan mundur selangkah pun seturut dengan ambisi besar AHY untuk menjadi cawapres-nya Anies. Jika bukan AHY, Demokrat akan mundur seribu langkah meninggalkan Koalisi Perubahan.
Setelah hasrat besar untuk maju sebagai capres tidak bisa didapat, AHY pun terpaksa menurunkan ambisinya dengan hanya menjadi cawapres. Yaitu cawapres-nya Anies. Maka itulah ia membawa Demokrat -- tentu dengan restu sang ayah, SBY, untuk berkoalisi dengan NasDem dan PKS. Karena hanya itulah satu-satunya jalan ambisinya itu bisa terwujud. Â
Sayangnya dengan cara itu pun AHY berpotensi gagal. Pasalnya sampai saat ini NasDem dan PKS belum ikhlas dengan AHY. Terbukti dengan seperti yang saya sebutkan di atas, kedua parpol ini justru mencari pasangan Anies di luar parpol koalisi. Seolah-olah tidak ada AHY. Bagi PKS sendiri bila tidak ada cawapres dari luar koalisi, maka mereka lebih menghendaki kadernya sendiri sebagai pendamping Anies, yaitu Ahmad Heriyawan (Aher), mantan Gubernur Jawa Barat. Â
Padahal tiga parpol di Koalisi Perubahan itu sangat saling tergantung. Satu saja di antara mereka keluar dari koalisi, maka bubarlah koalisi tersebut. Karena tidak memenuhi ambang batas presiden (presdiential threshold). Ambang batas presiden berdasarkan UU Pemilu ditetapkan sebesar 20 persen dari jumlah kursi DPR, atau 25 persen dari suara sah nasional. Â
Demokrat yang mendengar PKS menawari Mahfud MD sebagai calon pendamping Anies tentu saja tidak menerimanya. Ketua Bappilu Partai Demokrat Andi Arief mengatakan, PKS Â jangan seperti toko kelontong yang menawari pendamping Anies sampai ke semua tokoh. Sebelumnya, diketahui PKS juga pernah menawari Sandiaga Uno posisi yang sama. Padahal, sesungguhnya yang tidak bisa diterima oleh Demokrat adalah, ada AHY, koq PKS menawari ke beberapa tokoh lain.
NasDem membutuhkan Demokrat untuk kecukupan ambang batas presiden, tetapi tidak untuk AHY sebagai cawapres. Penyebabnya antara lain karena karena blunder AHY sendiri, yang dianggap justru bisa merugikan koalisi dan NasDem sendiri.
AHY yang tidak pernah menjadi bupati/wali kota, gubernur, anggota DPR, maupun menteri, langsung ingin menjadi presiden, kemudian turun menjadi wakil presiden, itu  mungkin karena kurang pengalaman politiknya, justru membuat blunder dalam  Koalisi Perubahan. Â
Bermaksud ingin mengambil hati Anies "sebagai antitesa  dari Jokowi", AHY paling rajin terus me-nyinyir dan mengkritik berbagai kebijakan Jokowi.  Hal itu malah justru menjadi kontraproduktif. Ia lupa di Pilpres 2014 dan 2019 NasDem adalah salah satu pengusung utama Jokowi. Dan di Pemiu 2014 dan 2019 banyak pemilih memilih NasDem karena faktor Jokowi. Jumlahnya signifikan.
NasDem sangat diuntungkan dengan ikut mengusung Jokowi di kedua Pilpres tersebut. Efek ekor jas benar-benar mereka rasakan dengan perolehan suara yang naik sampai hampir 9 persen.
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh juga beberapakali  menegaskan bahwa NasDem tetap konsisten mendukung (semua kebijakan) Presiden Jokowi terus sampai dengan habis jabatannya. Ketika  salah satu petinggi NasDem, Zulfan Lindan menyatakan Anies adalah antitesa Jokowi, Surya Paloh marah, dan langsung memecatnya dari pengurus DPP NasDem. AHY yang belum paham, justru terus-menerus nyinyiran hampir semua kebijakan Jokowi. Hal tersebut tentu tak berkenan di hati Surya Paloh. Sikap AHY itu dinilai berisiko tinggi menurunkan elektabilitas Partai NasDem, dan merugikan Koalisi Perubahan.
Sementara itu efek ekor jas yang diharapkan dari mengusung Anies tak terjadi. Berdasarkan berbagai hasil survei. Dalam berbagai hasil survei terbaru akhir-akhir ini elektabilitas Anies stagnan, cenderung menurun. Lebih parah lagi NasDem sendiri, elektabilitasnya justru  menurun. Â